27/08/12

Kebudayaan dalam Pemerintahan

Radhar Panca Dahana

Sebenarnya banyak yang mempertanyakan komentar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, beberapa waktu lalu, tentang eksistensi taman budaya yang tersebar di banyak provinsi negeri ini.

Hal yang cukup mengejutkan adalah anggapan sang menteri tentang lembaga budaya itu yang, menurut dia, bisa jadi etalase produk-produk budaya Indonesia. Sinisme pun merebak: taman budaya menjadi showroom?

21/08/12

Genetika Pulang

Acep Iwan Saidi

Mereka tidak jadi ke Njati, apalagi Solo. Sudah dua hari berturut-turut mencoba. Namun, mereka tetap gagal bersaing dengan penumpang lain. Lebaran I dan II tetap tidak bisa diajak kompromi. Mereka selalu terlempar ke sudut terminal sebelum kembali ke kamar sewanya yang kumuh.

Demikian pokok kisah Umar Kayam tentang janda beranak dua, pembantu rumah tangga di Jakarta, yang hendak mudik Lebaran. Kayam melukiskannya dengan tragis melalui sebuah cerita pendek ”Ke Solo Ke Njati...” dalam kumpulan cerpen Parta Krama (1997). Kuntowijoyo dalam pengantar buku ini berpendapat, kisah Kayam adalah gambaran ketakberdayaan manusia.

18/08/12

Hak Allah dan Sesama Hamba

A Mustofa Bisri

Bahkan satu bulan—di antara 12 bulan—yang dianugerahkan Tuhan, nyaris tidak kita gunakan sebagaimana mestinya. Rutinitas kesibukan yang tidak begitu jelas tetap saja berlangsung di bulan yang kita sebut-sebut sebagai bulan suci.

Gegap gempita kita menyambut bulan Ramadhan. Bahkan, untuk lebih menunjukkan penghormatan kita kepada bulan istimewa itu, kita perlukan memasang spanduk di jalan-jalan. ”Marhaban Ya Ramadhan. Selamat Datang, Bulan Ramadhan. Hormatilah Bulan Ramadhan!” Gegap gempita penyambutan—kemudian disusul gegap gempita lainnya—itu tak kunjung menjelaskan secara jelas: di mana letak kesucian atau keistimewaan bulan Ramadhan yang kita hormati itu. Jangan-jangan sebutan kita kepada Ramadhan ”yang terhormat” itu hanyalah seperti tegur sapa kita kepada para anggota DPR.

Mestinya, anugerah satu bulan suci ini bisa digunakan untuk iktikaf, berakrab- akrab dengan diri sendiri, setelah 11 bulan lainnya kita hampir tak sempat berdiam diri. Sibuk dengan berbagai kegiatan yang sering kali tidak jelas kaitannya, terutama dengan urusan kehidupan abadi kita kelak. Namun, lagi-lagi kita lebih suka meneruskan kesibukan duniawi kita dan dari bulan Ramadhan hanya kita ambil suasananya dengan mengubah gaya saja. Dengan kata lain, nuansa ukhrawi dalam kegiatan dan kesibukan itu hanyalah kemasan: sekadar menyesuaikan dengan waktunya Ramadhan.

Pihak pengusaha dan industri yang naluri ”nawaitu”-nya bermula dari kepentingan duniawi pun, seperti pada hari-hari dan bulan-bulan lain, tetap lebih terasa mendominasi kegiatan ukhrawi kita. Lihatlah kekontrasan ini: harga bahan-bahan makanan naik menjelang bulan puasa. Ramainya pasar, mal, dan supermarket pada ‘asyrul-awaakhir, hari-hari penting ibadah Ramadhan yang terakhir. Lihatlah pula acara-acara di televisi. Mengiklankan kehidupan mewah duniawi.

Kesibukan para politisi dan pengamat, sebagaimana diberitakan pers, pun masih kesibukan yang itu-itu saja. Pamer benar dan pamer pintar. Tetap tidak tergerak mempergunakan bulan perenungan ini bagi mereformasi diri sendiri.

Kaum Muslimin sendiri pada bulan yang sering mereka sebut sebagai bulan perenungan, beriktikaf, dan tafakur itu ternyata lebih mengekspresikan keislaman mereka dengan kegaduhan. Perhatian mereka terhadap diri sendiri dalam rangka perbaikan dan peningkatan kedekatan kepada Allah masih kalah dengan perhatian terhadap pihak lain yang mereka anggap keliru. Namun, ketika mereka sedang ’mensyiarkan’ agamanya, mereka justru seperti tidak memperhatikan pihak lain.

Filantropi untuk Kohesi Sosial

Azyumardi Azra

Sepanjang Ramadhan dan lebih khusus lagi pekan terakhir menjelang Idul Fitri—adalah puncak filantropi Islam. Pada waktu tersebut, banyak Muslim yang memiliki kelebihan rezeki mewujudkan filantropi Islam dalam berbagai bentuk: mulai dari menyediakan makanan berbuka dan sahur sampai mengeluarkan bermacam ragam zakat, infak, shadaqah/sedekah, dan wakaf.

Ada berbagai ragam zakat yang wajib dikeluarkan bila sudah memenuhi ketentuan fikih tentang jumlah (nasab) dan masa kepemilikan, mulai dari zakat harta, zakat pertanian dan hewan, zakat mas dan kekayaan lain, zakat penghasilan, hingga zakat fitrah.

09/08/12

Ada “Sasrotomo” di DPR?

Sri Palupi

Sastrotomo adalah bapak kandung Nyai Ontosoroh, tokoh utama dalam buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Sebagai bapak, Sastrotomo rela menjual anak gadisnya kepada pejabat kolonial Belanda demi kekayaan dan jabatan sebagai juru bayar perkebunan.

Perilaku seperti Sastrotomo banyak kita jumpai di kalangan pejabat dan birokrat RI, pengurus partai, pemilik dan pengelola korporasi, juga anggota DPR. Tidak heran kalau di sektor migrasi tenaga kerja terdapat jutaan warga RI yang diperdagangkan dengan modus penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Sebab, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri juga melegalkan perdagangan orang.

UU No 39/2004 itu kini tengah direvisi DPR. Pada 5 Juli 2012, DPR mengesahkan RUU Perubahan atas UU No 39/2004 menjadi RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN) dan sekaligus mengesahkan RUU tersebut untuk dibahas lebih lanjut.

Bila membaca naskah akademik, judul, dan konsiderans RUU PPILN yang dihasilkan DPR, serasa ada harapan DPR benar-benar berkomitmen memperbaiki nasib TKI. Namun, harapan itu sirna setelah membaca substansi RUU PPILN. Muncul dugaan, ada ”Sastrotomo” di DPR.

08/08/12

Jenderal, Pimpinlah Perang Ini!

Radhar Panca Dahana

Betapapun kuat komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi, seperti tampak pada pernyataan Presiden SBY yang berulang-ulang menegaskan hal tersebut, kita (baca: rakyat) menyaksikan bagaimana sesungguhnya korupsi itu justru tampak tak peduli.

Ia berjalan dengan ketelengasan dan kecerdasannya sendiri. Bukan hanya melecehkan amanat presiden, ia juga seperti mengatakan, ”Dalam soal korupsi, tidak pakai maaf, ente bukanlah presiden ane!”

07/08/12

Lompatan Kedelai

Arif Budimanta

Harga kedelai bahan baku tahu-tempe saat ini bukan saja naik, melainkan melompat. Begitulah yang dikatakan seorang perajin tahu-tempe kepada kita.

Tingginya harga kedelai telah membuat sejumlah pabrik tahu dan tempe menghentikan produksi mereka. Produk turunan kedelai yang paling sering dikonsumsi masyarakat itu pun sulit ditemukan. Kalaupun ada di pasaran, harganya sudah sangat tinggi dan membebani pengeluaran masyarakat.