Arianto A Patunru
Subsidi bahan bakar minyak keliru, paling tidak dalam tiga hal: tidak produktif, tidak tepat sasaran, dan tidak ramah lingkungan.
Tidak produktif karena jumlah dana yang begitu besar seharusnya lebih bermanfaat jika digunakan untuk membantu mengatasi masalah paling krusial Indonesia: infrastruktur. Dokumen perencanaan pembangunan pemerintah, seperti Rencana Panjang Jangka Menengah (RPJM) maupun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) telah dengan benar mengidentifikasi tantangan utama sisi penawaran ekonomi Indonesia, yaitu infrastruktur.
Sayangnya, APBN masih belum tampak mendukung prioritas ini: pembangunan infrastruktur hanya 8 persen dari total belanja pemerintah, sementara 13 persen dialokasikan untuk subsidi energi, yang mayoritas masuk ke BBM. Saat partisipasi swasta masih terkendala, akan lebih produktif jika dilakukan realokasi sebagian anggaran dari subsidi BBM ke pembangunan infrastruktur.
Praktik subsidi BBM saat ini juga tidak tepat sasaran karena hampir setengahnya ternyata dinikmati oleh mereka yang berada di desil teratas (10 persen teratas) masyarakat berdasarkan pendapatan dan hanya 2 persen dikonsumsi desil terbawah (10 persen terbawah). Dengan kata lain, lebih dari 90 persen subsidi BBM sebenarnya dinikmati oleh yang bukan golongan termiskin.
Terakhir, subsidi BBM seperti saat ini menekan insentif bagi dunia usaha untuk masuk ke sektor energi terbarukan. Seruan pemerintah untuk mulai beralih dari energi berbasis fosil ke energi terbarukan hanya jadi retorika jika produk-produk energi terbarukan tak mampu bersaing dengan harga bensin yang dipatok terlalu rendah.
Indonesia salah satu penghasil emisi karbon dioksida berbasis bensin terbesar: emisi per kapitanya melebihi India dan China. Jakarta yang macet, misalnya, tak hanya membakar bensin sia-sia, tetapi juga mengisi paru-paru dengan karbon dioksida.