30/10/11

Papua dan “Pasar Kekerasan”

Manuel Kaisiepo

Rangkaian konflik disertai tindak kekerasan yang terus bereskalasi di Papua seakan melanggengkan label Papua sebagai ”zona konflik”. Zona ini memberlakukan hukum ”pasar kekerasan” di mana kekerasan menjadi komoditas yang ”diperjualbelikan” untuk berbagai kepentingan yang tidak jelas.

Konflik dan rangkaian kekerasan yang terus terjadi—apa pun motif dan tujuannya, terjadi begitu saja atau by design—mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah (pusat dan daerah) dalam menangani masalah Papua secara konsisten, komprehensif, adil, dan bermartabat.

Sungguh ironis, konflik berlarut-larut disertai tindak kekerasan di Papua itu terjadi justru setelah Papua dideklarasikan sebagai ”Tanah Damai”.

Ironis, sebab konflik disertai kekerasan itu terus terjadi setelah lebih dari satu dekade diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua (UU Otsus Papua). UU ini lahir sebagai suatu konsensus politik sekaligus upaya win-win solution guna mengakhiri konflik politik dan kekerasan selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru serta untuk meningkatkan kesejahteraan, harkat, dan martabat rakyat Papua.

Melalui UU Otsus Papua, pemerintah mendelegasikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga sangat besar. Dana puluhan triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD dan dekonsentrasi.

Pemerintah juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus untuk Papua melalui dua peraturan presiden (perpres) yang ditandatangani 20 September 2011. Pertama, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2012.

Mengapa komitmen pemerintah terhadap proses pembangunan di Papua melalui UU Otsus Papua, dua perpres, rangkaian kebijakan lainnya, dan disertai kucuran dana triliunan rupiah belum mampu meningkatkan kualitas hidup serta harkat dan martabat rakyat asli Papua?

Pertanyaan semacam ini menjadi relevan karena tingkat kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial suatu masyarakat berkorelasi dengan tingkat ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.

Stigma separatis

Sejarah mencatat, dalam jangka waktu yang lama rakyat Papua hidup dalam suasana ketegangan, ketakutan akibat kekerasan, kecurigaan, dan saling tidak percaya (distrust). Faktor saling tidak percaya ini kelihatan sepele, tetapi justru menjadi penghambat upaya dialog antara Papua dan Jakarta. Ketidakpercayaan ini akhirnya melahirkan dua cara pandang yang bisa bertolak belakang.

Di mata pemerintah, semua dinamika rakyat Papua langsung dicap sebagai tindakan separatis. Stigma separatis ini terus dipertahankan hingga kini sebagai pembenaran untuk mempertahankan pendekatan sekuriti di Papua. Padahal, sekuritisasi terbukti tidak menyelesaikan masalah, justru semakin mendorong lahirnya kekerasan-kekerasan baru.

Sebaliknya, di mata rakyat Papua, pemerintah pusat tidak sungguh-sungguh menghargai eksistensi mereka secara kultural, sosial-ekonomi, dan politik. Kekayaan alam Papua dieksploitasi besar-besaran, sementara rakyatnya tetap hidup dalam kemiskinan. Lebih dari itu, mereka terus hidup dalam ketakutan akibat pengalaman represif masa lalu dan kini berhadapan dengan pendekatan sekuritas. Maka dampaknya adalah ketidakpercayaan kepada pemerintah.

Pergantian kepemimpinan politik di Indonesia—dari rezim represif Orde Baru ke suatu pemerintahan yang demokratis sejak awal reformasi 1998—telah menjadi momentum baru yang memberikan harapan bahwa masalah Papua dalam konteks keindonesiaan dapat diselesaikan secara damai dan bermartabat.

Di bawah Presiden BJ Habibie, proses dialog Jakarta-Papua dibuka kembali dan melahirkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor IV Tahun 1999 yang mengamanatkan status otonomi khusus bagi Papua. Spirit dari tap MPR ini adalah mempertahankan integritas NKRI sekaligus menghargai eksistensi rakyat Papua di dalamnya.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memulihkan kepercayaan rakyat Papua kepada pemerintah pusat. Di bawah Gus Dur, tercipta trust-building dan kemudian rekonsiliasi antara Papua dan Jakarta. Gus Dur adalah presiden RI yang secara terbuka meminta maaf kepada rakyat Papua atas berbagai kesalahan pemerintah pada masa lalu sekaligus menawarkan alternatif penyelesaian masalah Papua melalui dialog yang tulus.

Faktor kepercayaan ini menjadi landasan untuk melanjutkan dialog dari hati ke hati antara Jakarta dan Papua. Hasilnya adalah dipercepatnya pembahasan RUU Otsus Papua, yang kemudian disahkan sebagai UU Nomor 21 Tahun 2001 pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.

UU Otsus Papua adalah suatu kompromi politik dengan prinsip win-win solution sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh, adil, dan bermartabat. UU ini bersifat lex specialis. Roh dari UU lex specialis adalah keberpihakan (affirmative), dalam hal ini kepada rakyat asli Papua.

Namun, setelah 10 tahun UU Otsus diterapkan dengan dukungan dana yang sangat besar, tingkat kesejahteraan rakyat asli Papua tidak meningkat. Sebaliknya data Badan Pusat Statistik menunjukkan angka penduduk miskin di Papua justru meningkat menjadi 38 persen tahun 2009, tertinggi di Indonesia.

Hingga saat ini mayoritas rakyat Papua masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Papua juga rendah (60 persen, padahal produk domestik regional bruto di atas Rp 20 triliun). Penelitian Universitas Cenderawasih tahun 2001 memperlihatkan, 74 persen penduduk Papua hidup di daerah terisolasi serta tidak memiliki akses sarana dan prasarana transportasi ke pusat pelayanan pemerintahan, sosial, dan ekonomi.

Mayoritas rakyat asli Papua, terutama yang tinggal di pedesaan, masih hidup dalam taraf ekonomi subsisten. Bahkan, sebagian lagi masih dalam taraf food gathering complex. Kondisi ini membuat mereka tidak mampu berkompetisi dalam sistem ekonomi pasar yang telah dikuasai para pendatang sehingga semakin termarjinalisasi di tanah sendiri.

”Pasar kekerasan”

Berbagai aksi kekerasan yang menimbulkan korban jiwa di Papua hendaknya dikritisi karena tidak semua aksi kekerasan itu muncul begitu saja. Kasus-kasus tertentu justru memperlihatkan adanya by design untuk kepentingan ekonomi politik pihak-pihak lain, sama sekali tidak terkait dengan kepentingan rakyat Papua.

Penembakan yang memakan korban jiwa di sekitar wilayah PT Freeport Indonesia (PT FI) di Timika, bersamaan dengan aksi mogok oleh ribuan pekerja PT FI baru-baru ini, masih meninggalkan tanda tanya besar: siapa sesungguhnya pelaku yang sedemikian profesional sehingga mampu menembak secara jitu di areal yang penjagaannya begitu ketat?

Aksi penembakan pertama di Mil 62-63 jalur Timika-Tembagapura dalam area PT FI terjadi Agustus 2002. Pelakunya ditangkap dan kasusnya sudah diselesaikan secara hukum, tetapi tetap menyisakan tanda tanya karena masih saja terjadi penembakan di areal PT FI.

Rentetan peristiwa itu seakan mengukuhkan Papua sebagai ”zona konflik”, bahkan sebagai ”pasar kekerasan” di mana kekerasan menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan.

Manuel Kaisiepo, Anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP

Deradikalisasi Berbasis Ideologi

Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar, Kairo

Pelbagai aksi terorisme yang terus berlangsung di republik ini menunjukkan bahwa program deradikalisasi belum efektif. Upaya deradikalisasi ternyata belum menyentuh aspek indoktrinasi yang kerap menjadi pembenaran aksi kekerasan.

Hal terjauh yang pernah dilakukan di Indonesia adalah program deradikalisasi berbasis insentif ekonomi. Ini dilakukan terhadap mantan tokoh Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (DI/NII) tahun 1960-an.
Program di atas gagal karena insentif ekonomi yang diberikan justru dimanfaatkan para mantan tokoh DI/NII untuk menghimpun kekuatan. Tahun 1977 aparat yang mengendus kebangkitan DI/NII telah menangkap tokoh-tokoh mereka (Solahudin, NII sampai JI, 2011: 83-102).

Deradikalisasi di Mesir

Di sinilah pentingnya belajar dari program deradikalisasi yang pernah terjadi di Mesir, salah satu negara berpenduduk Muslim yang kerap menjadi sasaran terorisme. Aksi teror terakhir di Mesir terjadi pada malam pergantian tahun 2011 di sebuah gereja di Alexandria. Sedikitnya 21 orang meninggal dan puluhan orang luka-luka.

Namun, aksi teror di Mesir dalam beberapa waktu terakhir relatif jauh menurun daripada tahun 1960-1980-an. Pada periode itu, aksi teror yang terjadi kerap didalangi gerakan keagamaan militan bernama Jamaah Islamiyah (JI) Mesir yang menyalahpahami beberapa ajaran keagamaan. Pembunuhan mantan Presiden Mesir Anwar Sadat, pada tahun 1981, juga disinyalir melibatkan kelompok JI Mesir.

Di luar dugaan banyak pihak, tokoh-tokoh utama JI Mesir yang masih berada dalam penjara mengeluarkan yang dikenal dengan istilah al-mubadarah liwaqfil unfi tahun 1997, bisa dimaknai sebagai proposal penghentian aksi kekerasan.

Pada tahap awal, proposal tersebut dijadikan komitmen sekaligus maklumat deradikalisasi oleh JI Mesir. Tahun 1999, JI Mesir mengeluarkan maklumat kedua untuk memperkuat maklumat pertama tahun 1997. Selanjutnya proposal dijadikan buku utuh.

Ada lima buku yang diterbitkan JI Mesir terkait dengan pembongkaran ulang atas sejumlah ajaran yang kerap disalahpahami oleh para teroris. Buku-buku itu adalah Al-Mubadarah Liwaqfil Unfi (Maklumat Deradikalisasi), Hurmatul Ghuluw fi Ad-din wa Takfiril Muslimin (Pengharaman Radikalisme Keagamaan dan Pengafiran Sesama Umat Islam), Tasliythul Adhwa` ’Ala ma Waqa’a fi Al-Jihad min Akhta` (Mengungkap Kesalahan dalam Memahami Jihad), An-Nushuh wa At-Tabyin fi Tashihi Mafahimi Al-Muhtasibin (Nasihat Deradikalisasi dalam Penegakan Amar Makruf dan Nahi Mungkar), serta Iydlahul Jawab ’an Su`alati Ahli Al-Kitab (Jawaban atas Pernyataan tentang Agama-agama Samawi).

Semua buku di atas membawa satu semangat, yaitu membongkar ulang pemahaman atas sejumlah doktrin keagamaan yang kerap dijadikan pembenaran aksi kekerasan dan terorisme. Semua buku di atas ditulis tokoh-tokoh utama JI Mesir yang memiliki otoritas keilmuan.

Adalah benar bahwa aksi terorisme masih terjadi di Mesir pasca-pertobatan JI Mesir. Namun, setidaknya ancaman terorisme di Mesir relatif lebih ringan. Bahkan, JI Mesir saat ini menjadi salah satu kekuatan utama di barisan terdepan untuk melawan jaringan terorisme, mulai dari jaringan terorisme lokal di Mesir hingga jaringan terorisme global yang pernah dikomandani Osama bin Laden.

Tiga kekuatan

Setidaknya ada tiga kekuatan yang membuat deradikalisasi berbasis ideologi di Mesir berjalan efektif. Pertama, deradikalisasi menyentuh aspek doktrin keagamaan. Para tokoh JI Mesir memahami, sejumlah ajaran keagamaan telah disalahpahami oleh kelompok teroris-anarkis dan menjadi ”pegangan” mereka dalam menjalankan aksi berdarah tanpa merasa bersalah. Dalam konteks ini, deradikalisasi berbasis ideologi berhasil menghancurkan kekuatan utama kelompok teroris-anarkis.

Kedua, deradikalisasi mempunyai kekuatan struktural, khususnya di internal JI Mesir. Ini mengingat deradikalisasi diprakarsai dan dilakukan oleh tokoh-tokoh spiritual JI, seperti Sheikh Najih Ibrahim Abdullah, Sheikh Ali Syarif, dan Sheikh Usamah Ibrahim Hafiz.

Deradikalisasi berjalan efektif karena melibatkan orang-orang yang menempati posisi puncak dalam struktur organisasi JI Mesir. Kekuatan struktural inilah yang mampu membawa gerbong JI Mesir untuk berjalan konsisten dengan isi maklumat deradikalisasi.

Ketiga, otoritas ilmu keislaman. Sheikh Najih Ibrahim Abdullah, Sheikh Ali Syarif, Sheikh Usamah Ibrahim Hafiz, dan lainnya disegani karena mereka adalah tokoh dengan ilmu keislaman mumpuni, baik di internal JI maupun dalam konteks publik Mesir secara umum.

Kekuatan inilah yang mampu membuat publik Mesir, khususnya internal JI, percaya terhadap yang disampaikan oleh para tokohnya. Bahwa yang mereka lakukan telah sesuai dengan Al Quran dan Hadis sebagaimana dipahami dan dijalankan oleh generasi Islam awal. Bahwa apa yang mereka lakukan semata-mata demi kemaslahatan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Bahwa yang mereka lakukan tidak semata-mata demi keuntungan duniawi.

Konteks Indonesia

Inilah yang tidak terjadi dengan program deradikalisasi di Indonesia. Adalah benar ada sebagian mantan teroris di Indonesia yang mencoba melakukan peran deradikalisasi seperti Nasir Abbas dan kawan-kawan. Namun, upaya ini tidak maksimal.

Di satu sisi, Nasir Abbas dan kawan-kawan tidak sempat menempati posisi yang sangat strategis dalam jaringan terorisme di Indonesia.

Di sisi lain, mereka juga dianggap tidak mempunyai otoritas ilmu keislaman untuk membongkar ulang sejumlah ajaran yang disalahpahami kaum teroris. Akibatnya, para mantan teroris di Indonesia pun gagal menarik gerbong terorisme untuk melakukan ”pertobatan massal” seperti yang terjadi di Mesir.

Adalah benar bahwa selama ini ada beberapa tokoh dan ulama yang mencoba membongkar ulang sejumlah ajaran keagamaan yang disalahpahami tersebut. Hal ini terlihat jelas dari pernyataan para ulama dari ormas-ormas besar di Indonesia (seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah) yang mengecam tindakan para teroris.

Namun, upaya pelurusan paham keagamaan itu juga tidak menimbulkan dampak yang efektif di kalangan para teroris. Bukan semata-mata karena para ulama tersebut diragukan otoritas ilmu keislamannya, melainkan karena mereka tidak berasal dari ”tokoh-tokoh teroris” dengan posisi struktural yang sangat strategis.

Hasibullah Satrawi Alumnus Al-Azhar, Kairo

12/10/11

Generasi Lupa Sejarah

Sarlito Wirawan Sarwono

Dalam siaran dari salah satu stasiun televisi, John Pantau pernah mewawancarai beberapa anggota DPR di Senayan. John Pantau adalah tokoh jahil yang sudah mengajukan berbagai pertanyaan ke beragam anggota masyarakat.

Pertanyaannya gampang sekali buat anak SD, tetapi tidak terjawab oleh anggota-anggota DPR yang terhormat itu. Lupa, barangkali. Terus dilanjutkan menyanyi ”Indonesia Raya”. Mula-mula semangat, tetapi di tengah-tengah mereka lupa lagi.

Saya menonton adegan itu sudah agak lama, tetapi teringat kembali menjelang Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2011 ini. Saya jadi teringat juga pada pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1966 yang berjudul Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).