17/11/09

Makna Sejuta Dukungan

Limas Sutanto

Sejak Reformasi 1998, atau selama 11 tahun, merupakan waktu yang cukup untuk perubahan mental kolektif mendasar.

Penggunaan teknologi komunikasi yang kian canggih ikut mempercepat perubahan. Perubahan mendasar itu berupa peningkatan kesadaran untuk memaknai kekuasaan negara sebagai peranti mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama.

Dalam bingkai ”kekuasaan negara bagi kebaikan dan kesejahteraan bersama”, keadilan dan penggunaan kekuasaan secara benar, baik, transparan, dan akuntabel menjadi keniscayaan. Dalam bingkai itu pula, ketidakadilan dan korupsi menjadi musuh bersama.

Listrik dan Kehidupan

Nengah Sudja

Adanya gangguan di PLTGU Muara Karang dan gardu listrik Cawang mengakibatkan defisit listrik 250 megawatt, sementara beban puncak 5.050 megawatt.

Atas keadaan itu terpaksa dilakukan pemadaman listrik bergilir. Itulah keterangan General Manager PT PLN Area Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang (Kompas, 10/11).

Listrik merupakan kebutuhan hidup masyarakat maju. Tentu saja pemadaman listrik mengganggu kehidupan sosial dan mutu kehidupan pun turun.


Nilai gangguan listrik

Kebutuhan listrik (E) berkolerasi dengan ekonomi, pendapatan domestik bruto (G). Secara ringkas, defisit listrik 250 megawatt (MW) per hari di wilayah Jakarta dan Tangerang bila dihitung dengan rupiah akan menjadi: 250.000 kW x 24 h/a x 2,7/ kWh > 16,2 Juta/a atau Rp 150 miliar per hari (kurs Rp 9.260).

Atas pemadaman bergilir selama dua pekan itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia Tangerang merugi hingga Rp 10 miliar per hari. ”Jika listrik mati selama 30 menit saja, distribusi air ke pelanggan bakal terlambat sampai tiga jam. Kerugian terhentinya produksi 30 menit itu mencapai Rp 97,2 juta” (Kompas, 12/11/2009).

Kegagalan perencanaan

Sistem ketenagalistrikan Jawa-Bali jauh lebih andal dari luar Jawa-Bali yang mengalami pemadaman berkelanjutan sejak 2001 di 24 wilayah. Hanya saja berita ini kurang didengar.

Ketika Jakarta pada akhir Oktober 2009 mengalami pemadaman bergilir, praktis terjadi pemadaman di seluruh Indonesia. Sejak itu, masalah listrik ramai dibahas. Sementara pemadaman di daerah berkelanjutan, mereka seperti dianaktirikan dan lama diabaikan.

Pemadaman di luar Jawa-Bali adalah kegagalan perencanaan jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan. Penambahan pembangkit banyak tersendat. Pemadaman listrik di Jawa-Bali bukan kekurangan pembangkit, tetapi merupakan kegagalan aset manajemen, terkait pemeliharaan, dan pengadaan suku cadang aset vital (cadangan trafo). Kendala utama bermuara pada kekurangan dana.

Apa langkah perbaikannya?

Perlu pemikiran kembali konsep penyediaan tenaga listrik nasional dan dituangkan dalam peraturan/perundang-undangan, antar lain, terkait, pertama, pemanfaatan captive power. Untuk itu perlu diintegrasikan dan dimanfaatkan aset nasional di luar PLN, captive power seperti pembelian listrik dari Cikarang Listrindo 100 megawatt dan PT Bekasi Power Jababeka 37 megawatt guna mengurangi defisit listrik. Harga pembelian PLN 7-9 sen per kWh. Bisa pula dilakukan pembelian dari captive power pembangkit diesel, 22-30 sen per kWh. Masih lebih murah dari nilai gangguan 270 sen per kWh. Masalahnya, siapa yang akan membayar? Pendapatan PLN yang 7 sen per kWh pun masih perlu disubsidi pemerintah. Bursa jual beli listrik ini membuka kesempatan menguji kepantasan berapa harga listrik bermutu yang dapat diterima konsumen.

Kedua, perbaiki pengelolaan aset. Mengingat besar nilai dan dampaknya, gangguan listrik patut dicegah. Sayang, masyarakat Indonesia ”sulit mengingat”, hanya berpikir sesaat tatkala mengalami petaka dan kurang berpikir panjang. Sesudah hilang dari pemberitaan, masalah dilupakan. Tak ada tindak lanjut untuk mencegah pengulangan kesalahan.

Gangguan tidak dijelaskan kepada masyarakat, apa penyebabnya, tidak ada pertanggungjawaban publik, beda dengan praktik yang lazim diberlakukan di negara maju. Mungkin pemerintah tidak peduli.

Perlu diketahui, penyebab gangguan listrik tidak dapat dijelaskan dalam waktu cepat. Penjabat profesional tidak akan memberi penjelasan spekulatif sebelum proses penyelesaian dilakukan. Maka, diperlukan waktu untuk mempelajari dan meneliti data, termasuk urutan kejadian. Namun, pada akhir penyelidikan perlu dilaporkan kepada masyarakat terkait waktu gangguan, daerah, dan jumlah pelanggan yang terkena, lama gangguan, dan uraian mengatasi gangguan.

Untuk itu, perlu segera dibentuk Komisi Keamanan Penyediaan Listrik yang meneliti sebab gangguan. Apakah gangguan itu karena kelalaian PLN atau sebab alami (petir, angin topan). Komisi perlu melibatkan partisipasi masyarakat: dengan keanggotaan dari industri listrik (PLN, pembuatan peralatan listrik, Kadin, konsultan), konsumen (lembaga konsumen), dan perguruan tinggi. Anggotanya dipilih secara terbuka.

Rencana jangka panjang

Ketiga, perlu perencanaan jangka panjang terkait pemenuhan kebutuhan tenaga listrik.

Keamanan pasokan perlu pembinaan dan pengawasan pemerintah. PLN hanya pelaksana. Kegagalan memenuhi kebutuhan tenaga listrik karena tidak tersedia dana cukup perlu dipecahkan dengan pengaturan penetapan tarif dasar listrik (TDL) yang mencerminkan pemulihan biaya. TDL ditetapkan oleh pemerintah/DPR hingga padat ranah politik. Selama ini subsidi diberikan pada sektor listrik, padahal seharusnya kepada masyarakat miskin. Depolitisasi penetapan TDL harus dilakukan. TDL bukan ditentukan, tetapi cukup diawasi pemerintah/DPR.

Selain itu perlu dibentuk Komisi Kegunaan Publik yang menetapkan TDL dengan melibatkan semua stakeholders, konsumen, pemasok listrik PLN, rekanan, pemilik dana guna menjamin efisiensi, kewajaran pendapatan PLN untuk menjamin kelangsungan usaha. Semua itu untuk memberi perlindungan mutu dan harga konsumen.

Semoga listrik terus menyala.

Nengah Sudja Peneliti Energi

Timor Leste dan Indonesia

A Windarto

Pada HUT Ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan Timor Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI.

Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009).

Pernyataan ini menarik karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi militer tahun 1975.

Dalam hantu komparasi

Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002) mengatakan, lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara lepas pantai Australia itu cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk Timor Timur yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi angka kematian penduduk Kamboja di bawah Pol Pot.

Fakta sejarah ini amat jarang diberitakan media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya akan menemui ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer, misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992.

Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili, 12 November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang kena sensor pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada masa kini.

Maka, berbicara tentang Timor Leste saat ini tak bisa lepas dari Timor Timur yang pada masa lalu menjadi provinsi termuda Indonesia. Hal ini sebanding dengan wacana tentang Indonesia yang sebelumnya merupakan koloni Hindia Belanda. Apa yang disebut sebagai Indonesia sebenarnya hasil ciptaan abad ke-20 yang belum ada pada masa penjajahan selama 350 tahun sebagaimana sering diucapkan Bung Karno. Artinya, sebutan itu bukan merupakan warisan leluhur yang tak tergali dari ingatan, tetapi sebuah penemuan politis yang menandai bangkitnya kesadaran suatu bangsa. Dengan kata lain, Indonesia menjadi sebuah nama yang mengungkap rasa kebangsaan di antara sesama nasionalis pergerakan yang ingin lepas dari penaklukan koloni Hindia Belanda. Koloni itulah yang wilayah-wilayahnya sempat ditaklukkan Belanda tahun 1850- 1910 dan disebut Van Sabang tot Merauke.

Di bawah bayang-bayang sebutan itu, kemerdekaan RI diproklamasikan. Sayang, proklamasi yang menghasilkan NKRI itu justru dipermalukan oleh pengambilalihan dan pendudukan Timor Timur 30 tahun kemudian. Bahkan, nasionalisme Indonesia yang setengah abad sebelumnya dibela dengan sumpah tritunggal suci—bahasa, bangsa, dan tanah air—kian terdera akibat kekalahan telak dalam jajak pendapat di bawah PBB pada Agustus 1999.

Benci tetapi rindu

Kekalahan itu seolah terlunasi dengan pengeksekusian ”nasionalisme menyerang-nyerang” di wilayah semiskin Timor Timur pascajajak pendapat. Jadi, bukan fiksi belaka jika Timor Timur yang sudah berubah menjadi Timor Leste pernah punya ikatan psikologis dan historis dengan Indonesia yang merupakan hasil proklamasi Soekarno-Hatta.

Dengan real politik semacam ini, dasar lepasnya Timor Timur dari Indonesia hampir sama dengan pengintegrasian daerah tak bertuan ke NKRI. Pasalnya, keduanya diputuskan hanya karena ”belas kasihan” terhadap wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Barat.

Dalam bahasa psikologi politik diistilahkan dengan ”hubungan benci tetapi rindu”. Di satu pihak, Timor Timur ”milik” Indonesia yang harus dipertahankan, di lain pihak, teritorial itu dipandang sebagai ”negeri asing” yang tidak mungkin dapat hidup tanpa ikatan dengan Indonesia.

Dalam hubungan paradoks itu, masuk akal jika ada ”gejolak psikologis” amat besar saat para milisi yang mendapat dukungan penuh dari Indonesia terusir secara tidak menyenangkan dari negeri sendiri. Begitu pula dengan ABRI yang—sambil menahan malu—tergusur pasukan internasional penjaga perdamaian yang dipimpin Negeri Kanguru.

Agaknya, inilah akibat politik dan kemanusiaan yang lolos dari pengamatan banyak pihak, termasuk PBB, yang menghasilkan bukan hanya kekacauan emosi dan keteledoran intelegensi, tetapi tragedi yang mendera kedua bangsa hingga kini.


Tentu cukup dipahami, segala kejengkelan, bahkan amarah, yang terpendam terhadap Timor Leste, tidak mudah dihapus dari ingatan. Namun, dengan mudah melupakan begitu saja apa yang pernah terjadi di sana sama dengan membalikkan punggung atas aneka kekejaman. Lugasnya, Timor Leste tetap merupakan bagian sejarah Indonesia yang layak ditulis sebagai pelajaran untuk melawan lupa. Jika tidak, jangan heran bila masih akan ada banyak orang yang bersedia bukan hanya melenyapkan nyawa orang lain, tetapi merenggut nyawa sendiri dengan rela akan dikerjakan.

A Windarto, Peneliti di Lembaga Studi Realino, Yogyakarta

Reformasi Polisi Indonesia

Bambang Widodo Umar

Setelah sekitar 11 tahun reformasi Polri berlangsung, kini kinerja polisi menjadi sorotan tajam.

Sorotan ini menyeruak di tengah gonjang-ganjing masyarakat yang melihat indikasi polisi melakukan kriminalisasi terhadap pejabat (nonaktif) KPK, Bibit dan Chandra. Terungkapnya rekaman pembicaraan antara Anggodo dengan beberapa petinggi polisi, yang diduga sebagai upaya rekayasa terhadap proses hukum, telah mengebiri dan mengaborsi alasan keberadaan cita-cita polisi. Inilah bukti nyata bahwa lembaga Polri perlu dibenahi.

Gonjang-ganjing polisi menjadi perdebatan penting saat terjadi konflik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik. Peristiwa itu tidak menggembirakan jika dilihat dari upaya membangun polisi profesional. Terlebih dalam upaya reformasi, memisahkan Polri dari struktur, kultur, dan konten TNI masih merupakan bayang-bayang ketimbang realitas.

Kini masyarakat sedang menggugat Polri. Gugatan itu patut mendapat perhatian serius jika Polri benar-benar hendak mereformasi diri dan tidak ingin dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Tanpa keseriusan dalam melaksanakan reformasi kelembagaan, citra dan reputasi Polri akan kian terpuruk. Citra polisi tidak bisa dicapai hanya dengan menunjukkan prestasi kerja saja, perubahan kelembagaan merupakan syarat utama.

Dari hari ke hari, tantangan yang dihadapi Polri kian bervariasi dan kompleks. Kultur polisi lama yang represif, arogan, eksklusif, dan merasa paling benar tidak layak lagi untuk digunakan. Norma-norma demokrasi, seperti kesetaraan, keadilan, independen, dan transparan, harus menjadi pedoman kerja Polri sehari-hari.

Refleksi reformasi Polri

Reformasi Polri dimulai sejak dipisahkannya organisasi kepolisian dari lingkungan militer berdasarkan TAP MPR No VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri dari TNI dan TAP MPR No VII Tahun 2000 tentang Peran Polri dan TNI.

Selanjutnya Polri menyusun Buku Biru Reformasi Menuju Polri yang Profesional, yang berisi rumusan perubahan dari aspek struktural, meliputi perubahan posisi kepolisian dalam ketatanegaraan, bentuk organisasi, susunan, dan kedudukan. Aspek instrumental meliputi perubahan filosofi, doktrin, fungsi, kewenangan, dan kompetensi. Aspek kultural meliputi perubahan sistem perekrutan, pendidikan, anggaran, kepegawaian, manajemen, dan operasional kepolisian.

Dalam proses reformasi, elite politik telah mendudukkan otonomi kepolisian secara luas, seperti menempatkan Polri di bawah Presiden, struktur kepolisian terpusat, mandiri dalam sistem penyidikan tindak pidana, mandiri dalam sistem kepegawaian, mandiri dalam sistem anggaran. Hal ini mencerminkan Polri sebagai bagian rezim kekuasaan yang menjauhkan diri dari kapasitas kontrol masyarakat.

Reformasi Polri seharusnya ditentukan bagaimana meletakkan lembaga kepolisian dalam negara demokrasi yang berbasis kekuatan masyarakat sipil. Secara normatif, fungsi kepolisian dapat ditetapkan sebagai: (1) penegak hukum, (2) penjaga ketertiban dan keamanan, dan (3) pelayan publik. Ketiga fungsi itu belum menggambarkan sesuatu, kecuali wilayah kerja yang perlu diisi berbagai konsep dalam konteks fungsionalisasi. Melihat kiprah elite politik itu, ada kekhawatiran ketiga fungsi kepolisian tersebut terisi oleh aspek-aspek yang tidak terkait upaya membangun kepolisian yang profesional.

Pengamatan ini tidak bermaksud untuk tidak menghargai kemajuan dan upaya yang telah dilakukan Polri dalam memperbaiki lembaga, tetapi upaya itu menunjukkan kemandirian polisi belum cukup saat bekerja berdasarkan konsepsi otonomi dan konsepsi jati diri dalam ruang negara yang masih melibatkan polisi sebagai instrumen kekuasaan.

Tidak jelas

Konsep reformasi Polri sendiri sebenarnya masih ada ketidakjelasan dalam: pertama, paradigma Polri terkait sistem keamanan dalam negeri selaras Undang-Undang Pertahanan Nomor 3 Tahun 2002, UU Pemerintahan No 32/ 2004, dan UU TNI No 34/2004.

Kedua, netralitas Polri dalam posisinya di bawah Presiden selaku kepala pemerintahan.

Ketiga, hubungan secara sistemik antara Polri dan PPNS, serta satuan-satuan pengamanan lainnya.

Keempat, bisnis polisi melalui yayasan Polri.

Kelima, lembaga eksternal pengawas aktivitas anggota Polri dalam melaksanakan tugas sehari-hari.

Implementasi reformasi Polri juga cenderung bersifat konvensional. Hal ini dapat dilihat dari: pertama, pelaksanaannya dari atas ke bawah, di mana satuan wilayah sekadar sebagai pelaksana kebijakan.

Kedua, tidak disertai ruang bagi satuan bawah untuk melakukan inovasi.

Ketiga, tidak disertai penghargaan dan hukuman.

Keempat, tidak disertai jaminan bahwa setiap pergantian pimpinan tidak akan terjadi perubahan kebijakan yang ditetapkan oleh pemimpin sebelumnya.

Dari gambaran singkat itu, tindak lanjut pemisahan Polri dari TNI tampak masih tidak jelas. Kebutuhan politik praktis seperti mengabaikan aspek mendasar dalam melakukan pembaruan lembaga kepolisian secara keseluruhan. Pemisahan Polri dari TNI yang semula diharapkan mampu mengubah polisi yang militeristik menjadi polisi sipil yang independen tampak menjadi paradoks dengan realitas politik. Bahkan, ada kekhawatiran pemisahan itu menjadi pintu masuk bagi penampilan politis kekuasaan transisi dari krisis legitimasi sosial yang hingga kini masih dihadapi (Widjojanto, 1999).

Jalan di tempat

Dari uraian itu, dalam reformasi Polri sebenarnya tidak sekadar menyangkut masalah teknis, tetapi juga menyangkut masalah strategis, yaitu (1) mendudukkan fungsionalisasi kepolisian dalam sistem ketatanegaraan, (2) membenahi dan mengembangkan profesionalisme kepolisian, dan (3) membangun lembaga independen yang kuat untuk mengawasi pelaksanaan tugas polisi sehari-hari di seluruh wilayah tugasnya.

Tanpa melakukan perubahan mendasar dengan dukungan pemerintah, Polri, dan masyarakat, reformasi Polri dapat diprediksi akan berjalan di tempat.

Bambang Widodo Umar, Dosen di PTIK/Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia

Tekad Para Pemimpin APEC

Para pemimpin APEC bersepakat melanjutkan upaya mengatasi krisis keuangan global, masalah perubahan iklim, dan bahaya terorisme.

Kesepakatan yang dikeluarkan pada akhir pertemuan puncak forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) hari Minggu, 15 November, di Singapura itu dianggap penting karena dunia memang sedang dihadang oleh tiga isu besar itu.

Secara substansial, kebetulan pula isu krisis keuangan global, perubahan iklim, dan bahaya terorisme memiliki keterkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan perekonomian dunia. Krisis keuangan global, perubahan iklim, dan ancaman terorisme dapat mengancam perekonomian dunia.

Krisis keuangan telah melemahkan pembangunan ekonomi di kebanyakan negara di dunia. Pengaruh negatif serupa bisa datang dari perubahan iklim. Kekacauan iklim telah mengacaukan musim tanam, yang sangat mengganggu kehidupan ekonomi rakyat. Kekeringan bisa berkepanjangan, yang mengancam ternak dan tanaman pangan. Semakin dirasakan pula, curahan hujan tidak normal, yang sering menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor, yang meminta korban jiwa dan kerugian harta benda.

Pukulan lain terhadap perekonomian juga datang dari terorisme. Pembangunan ekonomi sangat membutuhkan keamanan. Industri pariwisata termasuk paling rawan terhadap bahaya terorisme. Wisatawan menjadi enggan datang karena merasa tidak aman.

Kiranya masuk akal jika para pemimpin APEC mengagendakan isu krisis keuangan global, bahaya perubahan iklim, dan ancaman terorisme dalam pertemuan puncak tanggal 14-15 November di Singapura. Sebagai forum yang didirikan 20 tahun lalu untuk mendorong kerja sama ekonomi, APEC yang kini beranggotakan 21 negara memang ditantang bagaimana menyingkirkan krisis ekonomi, dampak kekacauan iklim, dan bahaya terorisme agar kehidupan ekonomi tidak terganggu.

Khusus mengenai krisis keuangan global, para pemimpin APEC menekankan pentingnya paket stimulus ekonomi untuk mempercepat proses pemulihan krisis. Kerja sama ekonomi juga perlu ditingkatkan dengan terus menjaga pasar terbuka dan mencegah proteksionisme.

Sudah muncul kekhawatiran, krisis keuangan bisa saja mendorong setiap negara berkonsentrasi pada urusannya sendiri, bahkan menutup diri. Padahal, krisis keuangan sebagai isu global harus diatasi bersama melalui kerja sama ekonomi dan perdagangan.

Kebersamaan itu perlu diperlihatkan pula pada upaya mengurangi pemanasan global dan ancaman terorisme. Tanpa kerja sama, upaya mengatasi berbagai problem dunia akan semakin berat. Itulah antara lain pesan yang ingin disampaikan para pemimpin APEC.

TAJUK RENCANA

Langkah Cepat Presiden

Pekerjaan rumah yang cukup kompleks menanti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setibanya dari menghadiri konferensi APEC di Singapura.

Presiden sudah mengetahui dan menyadarinya, bahkan meminta masukan dari Tim Delapan yang dibentuknya. Masalahnya sendiri rawan karena menyangkut salah satu kelemahan kita yang ”klasik”, dan karena itu justru merupakan program sentral pemerintahan SBY-Boediono, yakni memerangi praktik korupsi oleh pejabat negara dengan menyalahgunakan kekuasaan dan kesempatan.

Heboh atas isu praktik korupsi dan kolusi itu terjadi pada awal pemerintahan SBY-Boediono, yang sedang terkonsentrasi pada program kesejahteraan rakyat. Konsentrasi dan urgensi itu dijadwalkan dalam Program 100 Hari. Momentum sempat tercipta, tetapi dikhawatirkan terganggu persoalan dalam bidang penegakan hukum. Persoalan berkembang lebih ruwet karena melibatkan tiga lembaga hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Polri. Massa bahkan turun ke jalan.

Terutama soal kewenangannya di bidang hukum, ketiga lembaga itu otonom. Pemerintah bahkan Presiden tak bisa ikut campur begitu saja. Akan tetapi, bagaimanapun juga, Presiden memiliki kewibawaan, apalagi jika persoalannya menyangkut kepentingan publik. Tentu saja penggunaan dan pemanfaatannya diharapkan cermat dan bijak.

Munculnya persoalan yang melibatkan tiga lembaga hukum itu disertai ekses terganggunya konsentrasi pada bidang sosial-ekonomi, termasuk yang dituangkan dalam Program 100 Hari. Pengaruh negatif akan berkembang semakin buruk manakala berlangsung lama. Mau tidak mau, baik untuk kepentingan penegakan hukum yang adil maupun untuk kepentingan Program 100 Hari, pemerintah wajib turun tangan.

Bahwa Presiden segera membentuk Tim Delapan yang diketuai Adnan Buyung Nasution dengan para anggota yang kredibel, langkah itu menunjukkan kepekaan dan kearifan. Begitu tiba di Tanah Air dari pertemuan puncak Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Singapura, laporan hasil kerja Tim Delapan itu yang segera dicermati. Tanpa tentu saja mengabaikan masukan dari tiga lembaga hukum itu, yakni KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri.

Semua itu mendesak Presiden agar melakukannya juga dengan tempo yang berkejaran dengan waktu. Akan tetapi, pada waktu yang sama, juga diperlukan pertimbangan bijak. Pelonggaran waktu bisa menghilangkan momentum yang diperlukan. Lagi pula, masalah itu sempat dalam waktu cepat berkembang menjadi persoalan yang menyita perhatian bahkan aksi publik.

Sejauh kita bisa menangkap, publik percaya akan kebijakan Presiden serta gerak upaya yang cepat. Publik kita semua mempunyai kepentingan bersama, ialah jangan sampai momentum Program 100 Hari surut. Jangan sampai usaha menegakkan hukum yang bersih dan adil merosot mundur dan surut kredibilitasnya.

TAJUK RENCANA

15/11/09

Cengkeraman Al Capone

INDRA TRANGGONO

Mengikuti penayangan di televisi sidang Mahkamah Konstitusi yang memperdengarkan percakapan telepon seluler Anggodo Widjojo dengan pejabat kepolisian dan kejaksaan, kita diingatkan pada film Untouchables karya Brian De Palma (1987).

Film ini menggambarkan kekuasaan mafia atas lembaga peradilan di Chicago, Amerika Serikat. Para penegak hukum amat mudah didikte dan diatur gembong mafia Al Capone, yang diperankan Robert De Niro, sehingga Al Capone dan anak buahnya tak tersentuh hukum.

Al Capone amat digdaya. Dengan uang dan kekuasaannya, termasuk kebiasaan melakukan berbagai kekerasan, ia mampu menyulap pengadilan menjadi drama komedi yang menggelikan sekaligus menyedihkan.

Keadilan tak ubahnya kelinci di tangan tukang sulap, yang muncul sekadar sebagai tipuan lalu dimasukkan kembali ke dalam kotak dan digembok. Masyarakat pun menjadi apatis terhadap keadilan karena telah kehilangan kepercayaan atas lembaga peradilan dan para penegak hukum.

Kemunculan tokoh Eliot Ness, polisi sederhana dan tidak bercitra hero yang diperankan Kevin Costner, memberi secercah harapan. Ness yang sebenarnya merasa miris (gemetar) melawan Al Capone tidak yakin mampu meringkus bedebah berkantong tebal itu. Namun, berkat dukungan polisi senior yang diperankan Sean Connery itu dan tumbuhnya keyakinan atas kebenaran dan keadilan, ia pelan-pelan mengumpulkan bukti dan saksi untuk menjerat Al Capone. Upaya ini berhasil. Di dalam persidangan, Al Capone terbukti bersalah melakukan penggelapan pajak dan akhirnya dijebloskan ke penjara.

Hoegeng dan Bismar

Pelajaran penting film ini: integritas, komitmen, kemampuan, serta keberanian mampu merebut kembali keadilan dari tangan-tangan hitam mafia.

Eliot Ness memang tidak lahir di sini. Namun, negeri ini pernah melahirkan tokoh-tokoh besar dunia peradilan semacam Jenderal Hoegeng dan Bismar Siregar yang memiliki komitmen, integritas, kemampuan, dan keberanian seperti Eliot Ness.

Hoegeng dan Bismar telah menjadi legenda sekaligus ikon dalam penegakan hukum di negeri ini. Gus Dur pernah melemparkan anekdot kritis bahwa di Indonesia ini hanya ada dua polisi yang jujur: Jenderal Hoegeng dan ”polisi tidur”.

Amat mungkin Hoegeng dan Bismar semasa bertugas juga menghadapi banyak godaan suap dan tekanan dari para cukong yang ingin mengendalikan hukum dan keadilan. Namun, mereka mampu lolos dari jebakan. Mereka mampu mempertahankan idealisme, integritas, dan komitmen hingga akhir hayat.

Polisi dan jaksa sejati seperti Hoegeng dan Bismar amat sadar bahwa negara akan karut-marut jika hukum yang dijalankan dalam kondisi compang-camping. Bahkan, eksistensi negara dan bangsa bisa lenyap jika hukum hanya menjadi aksesori sebab keadilan tampil gagah hanya dalam ucapan, tetapi hampa dalam kenyataan.

Pengawal

Hukum menjadi pengawal penting bagi praksis politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Tanpa kawalan hukum, politik akan menjadi pasar kekuasaan yang brutal dan hanya melahirkan demokrasi semu serta kekuasaan yang rakus. Tanpa hukum, ekonomi akan menjadi pasar bebas yang menendang warga negara ke pinggiran. Tanpa hukum, kehidupan sosial menjadi kerumunan tanpa tatanan. Tanpa hukum, budaya menjadi wilayah tanpa orientasi etik.

Selain visi atas negara dan bangsa, polisi dan hakim sejati semacam Hoegeng dan Bismar amat sadar bahwa menjadi penegak hukum sejatinya adalah menjadi pelayan masyarakat untuk mewujudkan keadilan, seperti kesadaran tokoh Eliot Ness yang menggetarkan itu.

Memilih menjadi pelayan berarti memiliki kepercayaan atas nilai-nilai ideal yang dijadikan orientasi aktualisasi diri dan peran sosial. Kepercayaan itu mendorong mereka memiliki harapan akan terjadinya perubahan menuju tata kehidupan yang lebih bermartabat dan bermanfaat bagi masyarakat. Otomatis mereka memiliki kecintaan atas profesi. Cinta atas profesi itulah yang membuat seorang polisi atau jaksa tidak akan merusak kepercayaan yang telah diamanahkan kepada mereka.

Pendangkalan nilai

Akibat pragmatisme dan materialisme, kini terjadi berbagai pendangkalan nilai dalam jagat profesi, termasuk para penegak hukum. Pendangkalan itu mengakibatkan profesi dijalankan tanpa idealisme, komitmen, integritas, atau martabat. Setiap persoalan hanya didekati secara teknis dan tidak menyentuh substansi. Itu juga termasuk dalam praktik-praktik peradilan kita. Akibatnya, hukum hanya memenuhi standar kebenaran material atau formal; bukan standar nilai, etika, dan moral.

Hal yang menyedihkan bahwa standar kebenaran material dan formal itu sering tak menemukan presisinya karena tekanan kekuatan eksternal, baik berupa kekuasaan maupun uang. Akibatnya, hukum selalu gonjang-ganjing.

Kini kita merasakan gonjang-ganjing hukum. Seperti dalam Untouchables, bos mafia yang buas itu mengendalikan jagat peradilan dan para penegak hukum kita. Polisi, jaksa, pemerintah, dan masyarakat pencinta penegakan hukum belum terlambat untuk melakukan pembenahan, baik struktural-sistemik maupun kultural (nilai, etik, dan moral), sebelum banyak manusia ala Al Capone mencengkeram jagat peradilan kita.

INDRA TRANGGONO Cerpenis; Tinggal di Yogyakarta




Biarkan Nurani Bicara

WIRANTO

Kita sedih dan prihatin menyaksikan demonstrasi para penegak hukum. Mereka tanpa canggung dan terbuka berpolemik mengungkap kebenaran dengan versi masing-masing.

Pada masa lalu kebenaran seperti yang mereka pertontonkan akan diikuti masyarakat secara pasif. Namun, keadaan kini sudah berbeda. Orang sudah semakin cerdas dan amat paham apabila hak-hak mereka dirampas. Apalagi kasus yang terjadi menyangkut rasa keadilan yang memorakporandakan harapan begitu besar tentang masa depan kehidupan bangsa yang lebih membahagiakan melalui pemerintahan yang baru dibentuk.

Memang tidak ada kebenaran yang mutlak. Benar bagi satu pihak belum tentu benar bagi pihak lain. Namun, pada saat kita menggunakan acuan hukum positif yang merupakan kesepakatan kolektif bangsa, seyogianya semuanya mengakui kebenarannya.

Celakanya, penjaga hukum positif yang seharusnya memprakarsai, mendorong, mengawal, dan mengajak masyarakatnya untuk taat hukum sedang asyik bermain-main dengan kewenangannya itu.

Maka, keadaan menjadi kacau. Salah dan benar menjadi absurd. Masyarakat yang kehilangan pegangan terlihat geram, kesal, dan telah menunjukkan perasaannya dengan berbagai cara.

Akibatnya mulai terasa. Kebersamaan kita sebagai bangsa yang dengan susah payah dibangun mulai terusik. Bangsa yang sementara ini membutuhkan kebersamaan untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional justru dibawa ke semangat lain yang menghabiskan energi kita tanpa makna.

Pudarnya kebersamaan

Kita harus menyadari bahwa dalam sejarah kebangsaan kita sejak zaman dahulu kala, kehancuran negara-negara di Nusantara diawali dengan memudarnya kebersamaan sebagai satu bangsa. Kebersamaan itu lebih banyak dirusak oleh perilaku korup dan tamak akan kekuasaan dari para petinggi negaranya.

Lihat saja, kehancuran kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram tidak terlepas dari kedua hal tersebut. Pengalaman pada zaman kemerdekaan juga hampir serupa. Pemerintahan silih berganti lebih disebabkan kedua hal tersebut.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai menghargai dan belajar dari sejarahnya untuk membangun peradaban yang lebih baik bagi kesejahteraan masyarakatnya. Bangsa yang besar memiliki kesadaran menggunakan sejarahnya untuk menghindari berulangnya kesalahan pada masa lalu. Sejarah adalah alat bagi bangsa ini untuk tidak jatuh pada lubang yang sama berulang kali.

Dengan menyimak perseteruan antara Polri dan KPK, bahkan sudah merembet ke institusi paling dominan di negeri ini (yakni lembaga eksekutif dan legislatif, lembaga negara lainnya, serta masyarakat luas), sejatinya bangsa ini sudah berada di pintu gerbang pengulangan sejarah pahit masa lalu.

Dipertaruhkan

Masa depan negeri ini sedang dipertaruhkan. Akankah sejarah masa lalu itu akan berulang kembali? Inikah saat negeri ini akan kembali kita hancurkan hanya oleh kekhilafan dan kebobrokan moral para petinggi negara ?Atau, dengan kecerdasan dan kearifan sebagai bangsa besar, kita mampu menyelesaikan masalah ini dengan baik?

Tanpa mengabaikan proses politik dan hukum yang sementara berkembang dalam penyelesaian perseteruan KPK vs Polri serta kasus Bank Century, marilah kita masuk pada dimensi yang berbeda.

Menurut buku yang disunting oleh Alexandra Barahona de Broto, Carmen Gonzales Enriques, dan Paloma Aguilar, The Politics Memory: Transitional Justice in Democratizing Societies, sukses demokratisasi sangat terkait dengan sukses atau gagalnya masyarakat memelihara ingatan mereka tentang masa lampau.

Jika ingatan masyarakat kuat, mereka akan bisa membedakan hal-hal baik dan buruk pada masa lampau.

Tidak hanya itu. Ternyata ingatan yang kuat itu masih perlu disokong oleh konsistensi dan keteguhan para pelaku demokrasi, terutama para pemimpinnya, dalam meyakini dan mengaplikasikan proses demokrasi itu. Dalam kaitan inilah ternyata kekuatan hati nurani memperoleh tempat yang khusus.

Hati nurani

Hati nuranilah yang membangunkan rakyat kecil menuntut hak-hak mereka. Hati nuranilah yang membakar para aktivis terus menyuarakan kepentingan rakyatnya. Hati nuranilah yang seharusnya membuat para wakil rakyat di lembaga legislatif memperjuangkan kebenaran bagi rakyat yang ia wakili. Hati nuranilah yang menuntun pejabat eksekutif membuat kebijakan yang adil dan prorakyat.

Pada akhirnya segala permasalahan bangsa yang sekarang dan nanti akan kita hadapi hanya dapat diselesaikan dengan baik kalau kita mulai mau dan berani mengedepankan hati nurani kita. Hati nurani tak bisa berbohong dan dibohongi. Hati nurani adalah kompas kebenaran yang akan membawa siapa pun berada di jalan Tuhan.

Seseorang yang mengingkari hati nuraninya akan terus tersiksa batin karena menyimpan borok kebohongan di hatinya, yang pasti akan terungkap pada saatnya.

Perseteruan KPK dan Polri maupun kasus Bank Century akan menjadi sederhana dan mudah diselesaikan apabila siapa pun, lembaga apa pun yang terkait, mau mengikutsertakan hati nuraninya untuk mendapatkan kebenaran.

Sebaliknya, apabila hati nurani diabaikan (yang berarti kejujuran terpinggirkan dan kebohongan masih terus dikedepankan), kita akan menjadi bangsa yang merugi karena tidak belajar dari sejarah dan berulang kali membuat kesalahan yang sama.

Maka biarkan nurani bicara.

Wiranto Purnawirawan TNI

Krisis Listrik (Re)-Publik

Alhilal Hamdi

Belakangan ini, selain berita yang menyentuh keadilan, perhatian media tentu saja masalah (pemadaman) listrik. Mengapa? Karena kini listrik sudah menjadi bagian kebutuhan dasar masyarakat.

Manajemen PLN menyatakan, secara menyeluruh kondisi sistem kelistrikan saat ini dalam keadaan ”siaga” dan ”defisit”. Namun, bahasa kedokteran mungkin lebih cocok dipakai, yakni situasi listrik kita dalam ”stadium darurat lanjut”. Barangkali yang dalam keadaan ”normal” hanya sistem kelistrikan di Bontang dan Batam. Artinya, di Bontang dan Batam tidak ada pemadaman dan cadangan operasi pasokan listrik lebih besar dari kapasitas unit pembangkit terbesar di daerah itu.

Kondisi sistem kelistrikan

Bila ditimbang dari ketersediaan pembangkit listrik dan beban, sistem Jawa-Madura-Bali seharusnya sudah normal mengingat daya mampu pembangkit wilayah ini sebesar 21.000 megawatt di atas beban puncak yang hanya 16.800 megawatt.

Keadaan defisit (pemadaman) seputar daerah Jakarta, Bekasi, Tangerang dilecut oleh terganggunya trafo Kembangan dan Cawang yang menyebabkan penyumbatan pasokan listrik dari kabel tegangan ekstra tinggi (500 kilovolt) ke kabel tegangan menengah (150 kilovolt). Upaya darurat untuk menyisipkan aliran dari arah utara Jakarta terkendala oleh gangguan trafo dan pembangkit Muara Karang.

Belum habis keluhan pelanggan listrik, baru-baru ini manajemen operasi PLN terpaksa mematikan arus listrik di Pusat Pengendalian Beban Jawa-Madura-Bali yang terletak di Gandul dan, sekali lagi, Kembangan. Hal ini dilakukan karena terdeteksi melelehnya isolator dan bagian kritis lain dari trafo pengatur beban.

Kabar buruk

Kabar buruk lanjutan minggu kedua November ini, terjadi penurunan daya mendadak dari pembangkit Paiton milik swasta dan Suralaya milik Indonesia Power. Kedua pembangkit ini berpotensi mengurangi pasokan listrik Jawa Timur-Barat-Banten. Upaya pemindahan cadangan trafo dari Jawa Timur ke Jakarta dan perawatan memerlukan waktu. Karena itu, pelanggan listrik masih harus siaga terkena giliran pemadaman hingga Desember 2009.

Wilayah Bali juga mengalami defisit. Kabel listrik dari Jawa hanya beroperasi dua dari empat yang pernah terpasang. Pembangkit listrik swasta panas bumi di Bedugul tak bisa diteruskan pembangunannya karena protes warga. Pembangunan listrik swasta berbahan bakar batu bara sebesar 380 megawatt di utara Bali, yang seharusnya mulai masuk jaringan akhir 2009, hingga kini baru sebatas pemasangan tiang pancang.

Bali akan relatif normal (siaga) pada Januari 2010 setelah selesainya perawatan pembangkit PLN Gilimanuk. Namun, bakal benar-benar normal dalam jangka panjang serta memenuhi permintaan pelanggan kelak tahun 2013. Kebutuhan itu terpenuhi setelah terpasangnya tambahan empat kabel laut dari Jawa dan (diharapkan) pasokan listrik swasta yang 600 megawatt.

Untuk wilayah luar Jawa-Bali, kendala utama yang terjadi adalah pada jumlah pasokan yang tidak memadai dibandingkan dengan permintaan yang naik pesat seiring pertumbuhan ekonomi.

Kontrak-kontrak listrik dari pengembang swasta sebagian besar gagal pasok dan upaya PLN membangun listrik melalui program 10.000 megawatt di luar Jawa baru akan selesai seluruhnya pada tahun 2011. Penanggulangan sementara defisit listrik luar Jawa dilakukan dengan menyewa pembangkit diesel. Tindakan ini terpaksa dilakukan PLN meski hal ini mengakibatkan melonjaknya biaya operasi dan jelas tak efisien.

Kendala investasi

Untuk meningkatkan kemampuan dan rasio elektrifikasi, kita menghadapi beberapa tantangan. Pertama, tarif listrik yang tidak bisa menutupi biaya operasi. Kedua, sistem subsidi yang hanya menutup biaya operasi tetapi tidak mendukung kemampuan investasi. Ketiga, kendala likuiditas PLN untuk investasi. Keempat, tingkat pengembalian aset yang rendah.

Tingkat pengembalian aset perusahaan utilitas, termasuk listrik, di Eropa dan Amerika Selatan berkisar 7,0 persen hingga 9,0 persen dan Thailand sebesar 6,0 persen.

Angka perbandingan pada tahun yang sama, 2008, untuk PLN minus 2,0 persen. Padahal, PLN didorong untuk mengurangi sebesar mungkin ketergantungan pada (dana) pemerintah. Artinya, selain memberi peran investasi swasta, juga menggali dana dari pasar uang.

Peran swasta

Meski pemerintah menjamin PLN tidak akan bangkrut, melalui mekanisme subsidi sesuai UU, tidak serta-merta meningkatkan kemampuan pinjaman PLN. Aturan di pasar modal dan uang mensyaratkan batasan kemampuan pengembalian pinjaman yang dicerminkan oleh neraca dan tingkat keuntungan perusahaan. Melanggar ketentuan akan dianggap cedera janji dan semua pinjaman harus dibayar seketika.

Memberi kesempatan luas bagi investor swasta akan mengurangi tekanan likuiditas PLN. Namun, keuntungan pengembang plus tingkat bunga pinjaman swasta yang umumnya lebih tinggi dari sumber pendanaan PLN juga menambah biaya produksi listrik. Apalagi, biaya energi —pembangkit swasta maupun PLN—dibeli dengan harga pasar, sementara tarif listrik lebih mengakomodasi sisi politis ketimbang keekonomian.

Investasi swasta maupun PLN, termasuk penggantian aset lama pembangkit, transmisi, dan distribusi, amat dibutuhkan. Merupakan tantangan besar bagaimana seharusnya meletakkan kelistrikan sebagai penggerak investasi di berbagai sektor pembangunan ekonomi.

Alhilal Hamd, Komisaris Utama PT PLN

Teori Resepsi dan Korupsi

Budi Darma

Terceritalah, pada tahun 1929 seorang pemikir bernama IA Richards menganalisis kekeliruan para mahasiswa dalam memahami teks. Dari sini kemudian lahir berbagai teori tentang sikap pembaca terhadap teks.

Teori demi teori terus berkembang, sampai akhirnya terbentuk Reader Response Criticism, dan kadang dinamakan Teori Resepsi, yaitu pemaknaan pembaca terhadap teks.

Teori ini berangkat dari sebuah postulat bahwa teks baru mempunyai makna manakala teks itu dibaca dan, dalam menghadapi teks, pembaca pasti menyikapi teks itu sesuai dengan kemampuannya menangkap makna teks. Kemampuan ini ditunjang berbagai faktor, antara lain pengalaman pembaca dalam membaca berbagai teks, perjalanan hidup, dan pandangannya terhadap kehidupan.

Pada mulanya teks sastra

Awalnya pengertian ”teks” ini terbatas pada teks sastra, tetapi tidaklah mustahil manakala pengertian awal ini bisa berkembang ke mana-mana. Karena itu, jangan heran manakala teks bisa juga identik dengan kehidupan.

Membaca teks, dengan demikian, bisa identik dengan membaca kehidupan dan, karena membaca kehidupan menyangkut berbagai aspek, setiap orang memiliki hak memaknai kehidupan sesuai dengan daya tangkapnya.

Karena teori resepsi lahir melalui proses panjang, dengan sendirinya nama tokohnya juga banyak. Meski demikian, pada hakikatnya semua pendapat menjurus pada muara yang lebih kurang sama: dimensi empiris, dimensi foregrounding, dimensi harapan, dimensi ketidakmengertian, dan dimensi keterkaitan teks dengan realitas. Keterkaitan antara satu dimensi dan dimensi lain dengan sendirinya amat kuat.

Dalam dimensi empiris, pembaca dituntut punya pengalaman membaca teks alias kehidupan. Dalam dimensi foregrounding, pembaca dianggap dapat menangkap makna kehidupan dan apa kiranya yang akan terjadi kemudian. Karena diharapkan dapat melihat apa yang kira-kira akan terjadi, muncul dimensi harapan, yaitu harapan mengenai penyelesaian apa yang akan terjadi selanjutnya.

Lalu, muncul dimensi ketidakmengertian karena baik dalam menghadapi teks maupun kehidupan, kemungkinan adanya sambungan yang hilang selalu ada. Akhirnya, agar tervalidasi, semua dimensi ini harus dikaitkan dengan realitas, yaitu kehidupan yang benar-benar terjadi lengkap dengan dinamika perkembangannya.

Dinamika perkembangan perlu dipertimbangkan karena teks alias kehidupan tak lain adalah sebuah dunia yang tak mungkin statis. Ketidakstatisan ini bisa menjadi lebih rumit karena setiap pembaca punya daya tangkap sendiri dan daya tangkap ini bisa berkembang karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal dalam hal ini identik dengan pengalaman dan kematangan pembaca yang tentunya tak akan selamanya statis. Faktor eksternal terkait dengan dinamika realitas di luar pembaca.

Komisi III DPR

Satu contoh dinamika realitas bisa kita simak lewat fakta dalam acara dengar pendapat Komisi III DPR beberapa waktu lalu. Dalam acara ini, Kapolri tampak sangat gagah dan sangat percaya diri. Terasa benar bahwa Komisi III mendukung Kapolri. Fakta ini menunjukkan bahwa pemimpin (nonaktif) KPK harus segera diadili karena bukti untuk mengadili mereka sudah cukup kuat. Fakta ini juga mengacu pada dugaan bahwa pemimpin (nonaktif) KPK ini sangat pantas dilemparkan ke penjara.

Makna teks alias kehidupan mengalami perubahan karena ada kekuatan eksternal yang bisa, paling tidak untuk sementara, menggerakkan perubahan. Pembaca dengan sendirinya paling tidak untuk sementara bisa pula terpengaruh dan, karena itu, pemaknaannya terhadap teks alias kehidupan juga bisa berubah.

Namun, apa pun yang terjadi, pembaca tetap memiliki berbagai dimensi, antara lain dimensi empiris, dimensi foregrounding, dan dimensi harapan. Dengan berbekal tiga dimensi ini, pembaca dapat menyimpulkan bahwa pola-pola yang lebih kurang sama pasti akan dipertontonkan oleh pihak-pihak yang diduga terkait masalah rumit ini.

Pola ini selalu muncul dalam bentuk itu-itu saja, antara lain bantahan telah melakukan perbuatan tertentu, penyebutan nama Tuhan dan sikap religius, pemerasan air mata, dan ketersekonyong-konyongan terserang penyakit. Semua perwujudan ini, dalam berbagai versi, sudah ”diharapkan” oleh pembaca pasti akan muncul. Atau, apabila seseorang yang diduga tersangkut perkara merasa mempunyai kekuatan besar, sikap-sikap jumawa pasti akan dipertontonkan oleh orang semacam ini. Aparat pun akan ragu-ragu memprosesnya.

Ketidaktahuan

Ada lagi dimensi yang penting: ketidaktahuan. Ketidaktahuan bisa terjadi karena derajat rantai hilang dalam satu kasus dengan kasus lain mungkin saja berbeda dan mungkin pula perbedaannya sangat mencolok. Jangan heran, dengan demikian, manakala Tim 8 pernah bingung dan, karena itu, mengancam akan mengundurkan diri.

Pembaca, dalam hal ini masyarakat, juga bingung. Namun, karena masyarakat, menurut istilah Carl Gustav Jung, diikat oleh kesadaran bersama, hati nurani masyarakat akhirnya akan berbicara tanpa kepura-puraan.

Budi Darma, Sastrawan

Barack Obama di Asia

Jepang dan China tak diragukan lagi merupakan dua negara Asia terpenting bagi Amerika Serikat. Di Jepang, isu yang sudah banyak menjadi wacana adalah soal pangkalan AS di Okinawa. Namun, sebetulnya ada soal yang lebih mendalam daripada sekadar pangkalan di Okinawa, yakni menyangkut kelanjutan hubungan strategis AS-Jepang.

Sebagian warga Okinawa sudah lama menginginkan pangkalan di pulau ini dipindahkan. Alasannya mulai dari kebisingan mesin perang AS yang mengganggu ketenangan hidup warga hingga pemerkosaan terhadap gadis Jepang oleh tiga tentara Amerika. Namun, sebegitu jauh berbagai keluhan tak mengubah kebijakan pemerintah, bahkan setelah kekuasaan beralih ke Partai Demokrat.

Kini, ketika Obama berada di Tokyo, memang ada peluang bagi Perdana Menteri Yukio Hatoyama untuk mengangkat isu itu. Menjelang kedatangan presiden AS itu, Hatoyama mengatakan, persekutuan militer Jepang dengan AS tetap menjadi pilar utama kebijakan luar negeri Jepang.

Meski demikian, Hatoyama juga menambahkan bahwa Jepang perlu mengakhiri ketergantungan berlebih kepada AS, dan beralih ke wilayah Asia yang kini sedang bangkit.

Sementara itu, mengenai hubungan AS-China, pengamat mengatakan, secara umum hubungan itu baik-baik saja, tetapi ke depan hal itu juga diliputi ketidakpastian. Dilihat dari kepentingan bisnis AS, Obama—dalam lawatan pertama ke China—ingin mencapai kemajuan nyata dalam mencegah proteksionisme di negara yang pertumbuhannya paling cepat di dunia ini, sehingga AS bisa menjangkau pasar lebih luas. AS juga bisa membicarakan masalah pemanasan global dan perubahan iklim dengan China.

Satu hal yang juga diamati adalah dalam lawatan kali ini Obama sengaja tidak memfokuskan diri pada soal politik dan hak asasi manusia yang biasanya mewarnai kunjungan pemimpin AS. Ia tampaknya menyadari, mengangkat isu Taiwan atau Tibet, sekalipun hal itu ada di benaknya, hanya akan membuat pembicaraan jadi kurang produktif.

Sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia, AS memang punya kepentingan dengan sejumlah negara dari beberapa wilayah, mulai dari Amerika Latin, Eropa, hingga Asia. Ketika krisis keuangan merebak tahun lalu, tampak bahwa sejumlah negara Asia bisa melewati krisis tanpa dampak serius. Ini tentu penting bagi perekonomian AS yang hingga kini tampaknya masih harus berjuang untuk membebaskan diri dari lilitan krisis.

Dengan perspektif itu, lawatan Presiden Obama ke Asia kali ini tampaknya lebih bermanfaat langsung bagi pemulihan ekonomi AS daripada untuk pencarian solusi politik dan keamanan.

TAJUK RENCANA


Infrastruktur Pendidikan

Butir-butir iklan program 100 hari Depdiknas merupakan janji yang mengikat. Akan dicatat seberapa besar bisa dilaksanakan. Berbeda dengan departemen teknis lain, tingkat dan tolok ukur keberhasilan praksis pendidikan relatif lebih sulit. Yang ditangani bukan benda mati, tetapi manusia dengan keunikan, keluhuran, dan kekerdilannya. Kegiatan diselenggarakan tidak dalam sebuah ruang kosong nol, tetapi dalam keadaan sudah dan sedang jalan.

Memilih terjaminnya gedung sekolah merupakan janji konkret. Gampang dipenuhi. Dengan prioritas anggaran pembangunan gedung diberi skala prioritas pertama, dengan menjaga sekecil mungkin terjadinya kebocoran, janji itu terpenuhi. Jeritan ”sekolah kandang ayam” Prof Winarno Surakhmad, sampai usia Republik Indonesia lebih dari 60 tahun masih ada gedung sekolah roboh, terjawab.

Infrastruktur hanyalah salah satu faktor dalam praksis pendidikan. Janji keberhasilan fisik perlu dilengkapi janji keberhasilan nonfisik. Apa saja? Bereskan segera masalah proyek sertifikasi guru. Perbaiki sistem ujian nasional, misalnya dengan adanya kesempatan siswa gagal di ujian nasional masih ada kesempatan mengulang dengan standar yang sama (Kompas, 13/11)—kebijakan yang kita nilai bijak. Bereskan soal buku teks dengan kebijakan tegas.

Lengkapkan sarana dan pengenalan perangkat teknologi informasi mutakhir. Berikan kepastian bahwa tanpa mengesampingkan faktor kesesuaian praksis pendidikan dengan lapangan kerja, bahwa pendidikan merupakan bagian dari pengembangan karakter dan national and character building bangsa yang plural di segala hal ini.

Kita hentikan trauma ”ganti menteri ganti kurikulum dan ganti kebijakan”. Tidak mungkin kebijakan dan praksis pendidikan masa lalu dibuang semua. Ketika perbaikan sarana fisik dilakukan, pada saat yang sama perlu dikenali betul kondisi riil. Ketika sejumlah persoalan belum terselesaikan, sisa persoalan jangan dibiarkan tertimbun, yang bisa menciptakan persoalan baru.

Mengenali kondisi riil dengan hati jernih dan semangat pedagogis, segera menyaksikan sejumlah soal. Masalah ujian nasional yang relatif mulai diterima dengan menyadari bahwa harus ada standardisasi minimum ukuran keberhasilan. Masalah guru dengan program sertifikasi yang belum selesai. Maksud memperbaiki kesejahteraan guru dengan program sertifikasi jangan terhenti sebagai gincu dan bedak, tetapi kepastian-kepastian.

Kritik pedas bahkan nyaris kecaman dari masyarakat merupakan bagian rasa memiliki, hakikat praksis pendidikan yang melibatkan semua penghuni negeri ini tanpa kecuali. Dengan tetap menempatkan pluralitas Indonesia dalam segala hal, sebaiknya masukan, kritik, bahkan kecaman bisa disambut dengan sikap positif, dan niscaya itu produktif. Dan hentikan sikap ”pokoknya” jalan terus!


TAJUK RENCANA

14/11/09

Balada Penegak Hukum

Sigit Pamungkas

Institusi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman merupakan pilar penting yang menentukan wajah keadilan.

Dapat dikatakan, seandainya semua institusi negara rusak, selama ketiga institusi itu masih dalam jalur yang tepat, maka keadilan masih akan didapat. Pijar keadilan masih bisa bersinar.

Sebaliknya, seandainya semua institusi negara baik, tetapi institusi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman rusak, maka jangan berharap keadilan akan didapat. Dengan berbagai cara, ketiga institusi itu akan berusaha mempersoalkan berbagai hal sebagai melanggar hukum.

Yang benar dapat berubah menjadi salah dan yang salah dapat dikonstruksi sebagai sesuatu yang benar. Sebab, ketiga institusi itu memiliki otoritas untuk mendefinisikan benar dan salah. Pada titik ini, hanya gerakan rakyat yang dapat menegakkan keadilan.

Celakanya, institusi penegak hukum kita berdiri di tempat yang tidak semestinya. Beberapa kasus besar yang terekspos ke publik, seperti kasus Artalyta Suryani dan perseteruan ”cicak lawan buaya”, memberi tahu kita bahwa lembaga-lembaga itu berdiri kokoh di atas pihak yang seharusnya menjadi seterunya.

Bahkan, saat bukti-bukti telah dipaparkan ke publik, absurditas pembelaan terhadap pelaku kejahatan terus diekspresikan secara vulgar. Penegakan hukum telah dimanipulasi begitu rupa sehingga keadilan hampir terbunuh atas nama penegakan hukum.

Tidak sekadar mafia

Mafia hukum adalah salah satu faktor yang sering disebut sebagai penyebab institusi hukum tidak setia membela keadilan. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah menyadari masalah ini. Dalam program 100 hari pemerintahannya, pemberantasan mafia hukum menjadi salah satu prioritas.

Mafia hukum ini bekerja sebagai jejaring yang mengatur dan memperdagangkan perkara serta sampai pada menentukan bentuk putusan. Nasib keadilan ditentukan bagaimana mafia hukum berpikir tentang hukum. Sebagai sebuah jaringan, mafia hukum bergerak diam-diam. Kerahasiaan amat dijaga, tidak hanya dari intipan publik, tetapi juga dari kolega mereka dalam korps penegak hukum.

Sayang, pencermatan terhadap keluasan dan kedalaman kerusakan hukum membawa kita pada kesimpulan berbeda. Perilaku menyimpang dari aparat hukum tidak hanya berlangsung di tingkat pusat, tetapi juga tingkat bawah. Ia juga berlangsung tak sekadar di wilayah tertentu, tetapi mewabah di semua tempat.

Artinya, penyimpangan itu sebenarnya sudah menjadi perilaku institusi, bukan sekadar jejaring mafia. Ia adalah normalitas institusi, bukan anomali. Ia tak bekerja sembunyi-sembunyi, tetapi telah menjadi ritme dari institusi hukum itu sendiri. Karena itu, menjadi mimpi belaka jika berharap adanya kontrol internal atas perilaku yang menyimpang dari institusi-institusi penegak hukum.

Selain itu, kukuhnya ketidaksetiaan institusi hukum dalam membela keadilan didukung institusi lain di luar institusi hukum yang merasa lebih nyaman dengan kerusakan institusi hukum. Individu-individu korup di jajaran eksekutif, birokrasi, dan parlemen menjadi bagian penting dalam melanggengkan kebobrokan institusi hukum. Sikap diam parlemen terhadap isu pemberantasan korupsi dan tepuk tangan meriah atas penjelasan Kepala Polri tentang konflik ”cicak melawan buaya” mengindikasikan hal itu.

Para koruptor di parlemen dan eksekutif justru akan terancam dengan institusi hukum yang kuat. Karena itu, jalan terbaik agar mereka tetap selamat adalah membiarkan normalitas penyimpangan institusi-institusi hukum. Dengan cara itu, terjadi pengaruh timbal balik. Kerusakan institusi hukum memberi nilai strategis bagi individu-individu korup di jajaran birokrasi, eksekutif, dan parlemen.

Karena itu, menjadi tidak aneh jika mereka yang duduk di eksekutif dan parlemen akan selalu menjadi pembela pertama atas absurditas institusi hukum dalam memberantas korupsi.

Memperkuat anomali

Dalam kerangka itu, oleh institusi hukum lainnya KPK dipandang sebagai anomali. Anomali atas kesetiaan institusi-institusi hukum konvensional yang kukuh berpihak pada ketidakadilan. Oleh institusi hukum konvensional, kehadiran KPK tidak sekadar dianggap mengurangi kewenangan. Ia juga tidak sekadar rivalitas kewenangan.

Lebih dari itu, kehadiran KPK dianggap sebagai institusi yang akan membunuh normalitas perilaku mereka. Institusi-institusi itu menempatkan KPK sebagai musuh, bukan mitra. Maka, tak aneh jika antusiasme dari institusi-institusi hukum dan individu-individu korup amat tinggi dalam melemahkan KPK.

Di institusi-institusi negara, kini KPK hampir-hampir tak ada pembelanya. Kalaupun ada, jumlahnya amat terbatas. Rakyatlah kini tumpuannya. Dalam konteks itu, terbayangkan terjadi repetisi gerakan 1998. Gelagat itu sudah ada. Kapan akan segera membesar?

Sigit Pamungkas Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM




Dinamika Asia Pasifik

Syamsul Hadi

Tanggal 14-15 November, KTT Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik atau APEC berlangsung di Singapura dengan tema ”Sustaining Growth, Connecting the Region”.

KTT yang dihadiri pemimpin 21 negara anggota APEC ini diarahkan pada tiga bahasan utama, yaitu positioning menghadapi pemulihan ekonomi global, dukungan terhadap sistem perdagangan multilateral, dan percepatan integrasi ekonomi regional.

Meski ekonomi dunia telah berangsur membaik, krisis global tetap menjadi fokus penting KTT ini. Seiring dengan itu, muncul berbagai pertanyaan kritis tentang efektivitas dan relevansi APEC di tengah hadirnya beragam perubahan dan alternatif pilihan dalam kerja sama di level global dan regional. Ide yang berkembang untuk ”menurunkan” level APEC menjadi sebatas forum para menteri ekonomi tampaknya berangkat dari kritisisme itu.

Kehadiran G-20 sebagai pengganti G-8 di level global dan gagasan Jepang tentang formasi komunitas Asia Timur dalam KTT ASEAN di Thailand baru-baru ini di level regional, misalnya, jelas merupakan dinamika yang langsung maupun tidak langsung menyempitkan ruang bagi artikulasi peran APEC dalam arsitektur kerja sama ekonomi di level global dan regional.

Dinamika dan perubahan

Dalam Transforming East Asia: the Evolution of Regional Economic Integration (2006), Nao Munakata menyatakan, berdirinya APEC tahun 1989 dilandasi kekhawatiran akan kemunculan blok ekonomi Eropa (Uni Eropa) dan Amerika Utara (NAFTA). Australia sebagai inisiator utama forum ini menginginkan APEC menjadi ”pintu masuk” baginya ke kawasan Asia Timur, yang dihuni ASEAN dan negara-negara industri baru yang diprediksi akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia masa depan.

Proposal Australia semula tidak menyertakan AS dalam keanggotaan APEC. Keanggotaan AS (dan Kanada) dalam APEC diusulkan Jepang yang saat itu menghadapi kesulitan akibat aneka tekanan ekonomi AS yang sedang dilanda pembengkakan defisit perdagangan yang masif. Bagi Jepang, kehadiran APEC diharapkan menjadi tandingan atas kecenderungan proteksionisme AS, bukan dengan ”mengucilkan”, tetapi dengan memastikan keterlibatan AS di dalamnya.

Semula fokus APEC dibatasi pada liberalisasi ekonomi dengan target-target penurunan hambatan perdagangan secara sukarela. Asumsi di balik pendekatan sukarela ini adalah liberalisasi perdagangan akan menguntungkan negara-negara yang melakukannya karena akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Pandangan ini dinilai tidak cukup oleh ASEAN dan negara-negara berkembang dalam APEC yang menginginkan adanya program-program pembangunan kapasitas untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang dalam APEC. Keinginan kelompok negara berkembang ini diakomodasi dalam pembentukan The Economic and Technical Cooperation (Ecotec) yang lalu menjadi salah satu pilar penting APEC. Sayang, seperti dicatat oleh Hadi Soesastro (Diplomat Magazine, September/Oktober 2007), pilar Ecotec dalam APEC tidak berjalan sesuai dengan harapan.

Hal yang sama terlihat dalam rendahnya komitmen atas liberalisasi perdagangan yang telah dicanangkan, yang menyebabkan berbagai keputusan APEC berhenti sebatas kertas. Relevansi APEC dipertanyakan ketika APEC nyaris tidak berbuat apa-apa saat krisis Asia 1997-1998. Hal yang sama terulang dalam krisis finansial global 2008-2009.

Pergeseran relevansi

Relevansi APEC justru menonjol dalam isu-isu keamanan, seperti tecermin dalam penggunaan forum ini sebagai sarana sosialisasi program melawan terorisme global yang dicanangkan Presiden George W Bush sejak 2001. Selanjutnya, kehadiran Obama sebagai pemimpin baru AS yang bertipe pembangun konsensus dipastikan akan berdampak luas bagi arah dan dinamika APEC. Lebih dari para pendahulunya, Obama menunjukkan keinginan besar untuk membangun kedekatan politik dengan negara-negara Asia. Namun, kehadiran militer AS di kawasan ini justru akan dikurangi, sebagaimana tecermin dari keinginan Obama mengurangi sejumlah besar pasukan AS di Okinawa, Jepang.

Padahal, baik Jepang, Australia, maupun ASEAN sama-sama membutuhkan kehadiran AS sebagai faktor penyeimbang kebangkitan ekonomi dan militer China (dan India). Hasrat Hatoyama membawa Jepang lebih independen dari AS dalam politik luar negeri, misalnya, dipastikan terbentur hambatan Pasal 9 konstitusi Jepang, yang membatasi keleluasaan dalam pengembangan kekuatan militernya. Wacana komunitas Asia Timur (yang sama sekali bukan ide baru) yang diungkap Hatoyama dalam KTT ASEAN belum lama ini tampaknya lebih merupakan usaha Jepang tampil lebih proaktif dalam percaturan wacana kelembagaan di Asia Pasifik, untuk mengompensasi kekurangannya di bidang militer, agar Jepang tidak lebih ”tenggelam” berhadapan dengan China yang sedang bersinar.

Ironisnya, semangat multilateralisme dan sikap properdamaian Obama dalam politik global dan regional justru dibarengi kemunduran ekonomi AS yang memaksa mengurangi komitmen atas liberalisasi perdagangan, seperti tecermin dalam keinginan meninjau kembali NAFTA.

Sengketa dagang AS-China yang terus menajam akhir-akhir ini menunjukkan, dalam beberapa tahun ke depan, AS akan terus mempertahankan kecenderungan proteksionisme sampai ekonominya benar-benar pulih. Ini berarti keinginan Singapura sebagai tuan rumah untuk benar-benar mengembalikan APEC pada jalur integrasi ekonomi regional tidak mudah diwujudkan.

Pada masa mendatang, keunggulan APEC akan tetap berasal dari keberadaannya sebagai satu-satunya forum regional yang menjembatani negara-negara di tiga benua berbeda: Asia, Australia, dan Amerika. Dengan cakupan geografis yang luas, ditambah ketimpangan kemakmuran antarnegara anggota yang masih demikian lebar, keunggulan itu justru menjadi sisi lemah bagi efektivitas kerja sama ekonomi yang harus menjadi bisnis utama APEC.

Syamsul Hadi Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI



Membongkar Mafia Indonesia

Dominggus Elcid Li

Pernyataan Amien Rais bahwa masyarakat perlu mengawal pemberantasan mafia di Indonesia tidak berlebihan (Kompas.com, 6/11/2009).

Meski kata mafia masih dimengerti sekadar fantasi dalam film God Father, dan belum lagi merupakan kenyataan sehari-hari. Padahal, bagaimana kita bisa membedakan pembunuhan arahan Vito Corleone dan kematian Nasrudin Zulkarnaen?

Tontonan vulgar praktik antihukum akhir-akhir ini sekadar memindahkan peristiwa di belakang layar ke layar kaca. Aslinya para pekerja media hanya ”menyoroti” apa yang selama ini dialami warga negara menjadi ”pengetahuan publik/bersama”.

Marah dan protes biasanya menjadi reaksi awal menanggapi ”pengakuan” para pihak yang terlibat. Namun, niat baik saja tidak cukup dalam melawan jaringan kriminal.

Kata mafia, aslinya menunjuk organisasi kriminal Italia semacam Cosa Nostra dan Ndarangheta. Namun, kata itu kini sudah umum dipakai untuk segala organisasi kejahatan terorganisasi dan dijalankan dengan ”aturan internal” ketat, misalnya Red Mafia (Rusia), Triad (China), dan Yakuza (Jepang). Literatur tentang mafia Indonesia sendiri hingga kini belum ditemukan, dan kata mafia masih dipakai umum sekadar ”pengandaian”. Padahal, efek jaringan mafia terhadap negara ini jelas tampak.

Menawarkan proteksi

Menurut Diego Gambeta (1993), negara dan mafia menawarkan hal yang sama, yaitu proteksi. Warga negara diasumsikan mendapat perlindungan dari aparat negara karena membayar pajak, sedangkan mafia menjual proteksi khusus kepada kliennya. Praktik mafia menjadi persoalan karena memperdagangkan hal-hal yang menurut aturan negara adalah ilegal.

Persoalan legal dan ilegal menjadi kabur batasnya dalam pasar mafia. Melindungi pelaku pelanggar hukum merupakan komoditas perdagangan dalam jaringan mafia.

Ironisnya, dalam negara anarki, proteksi yang ditawarkan mafia lebih masuk akal di mata pengusaha dibandingkan dengan negara. Sebab, pajak kepada negara cenderung tidak berbekas karena aparatur negara juga memperdagangkan layanan yang seharusnya diterima sebagai konsekuensi membayar pajak.

Membongkar mafia

Membongkar jaringan mafia jelas tidak mudah. Di Sicilia, Italia, Diego Gambeta dalam investigasinya terhadap jaringan mafia hanya mampu menganalisis praktik mafia berdasarkan wawancara terhadap pedagang pasar buah, rantai terbawah jaringan ini, karena nyawa taruhannya. Di Indonesia, kenyataan ini sedang jadi tontonan sehari-hari.

Mafia dalam politik di Italia bisa dibaca dalam skandal Silvio Berlusconi. Orang nomor satu Italia ini pun tidak bisa dianggap bersih. Perdana Menteri Berlusconi, yang menguasai tiga jaringan media Italia, baru bisa disentuh setelah jaringan media milik raja media Rupert Murdoch membukanya. Konflik di antara dua jaringan oligarki merupakan pemicu terbukanya skandal Berlusconi. Sejak Oktober 2009, impunitas Berlusconi dicabut sehingga skandal keuangannya bisa diusut.

Di Indonesia, tanpa memahami gerak mafia dan kaitannya dengan negara, usaha membuka kasus kriminal ibarat melenyapkan satu sel kanker. Aparat negara yang telah dikuasai jaringan mafia malah melakukan kejahatan terhadap warga negara.

Anarki dan ”ochlocracy”

Krisis negara terjadi setelah kepala negara dan kabinet dilantik. Kita masih di dunia fantasi demokrasi dan mabuk pujian sebagai satu dari banyak negara dengan penduduk terpadat yang menjalankan demokrasi. Jean- Jacques Rousseau menyebut demokrasi yang diselewengkan sebagai ochlocracy (1973: 234), atau praktik ”kerumunan”. Ini bagian kondisi anarki yang ditandai dengan pupusnya negara. Di Indonesia, hal ini tampak dengan memudarnya legitimasi aparat.

Jika Rousseau hanya menyebut ”kerumunan”, jaringan mafia yang bergerak dalam situasi anarki bukan kerumunan. Jaringan kriminal yang terorganisasi dengan struktur rapi beroperasi dalam sel lintas institusi.

Bagaimana negara bisa bertahan menghadapi mafia hingga kini belum terjawab. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa jaringan mafia Indonesia bisa dijawab para facebookers Indonesia. Sederhananya karena keduanya beroperasi dalam sistem jaringan simetris. Pertanyaannya, apakah jaringan antimafia yang terjalin di internet bisa dioperasikan dalam kenyataan?

Menghadirkan solidaritas antarwarga sebagai kenyataan bukan hal mudah. Pada tahun 1998, jaringan warga Indonesia gagal bekerja sama. Politik era reformasi Indonesia jika dibaca teliti tak berbeda dengan era dogfights dalam sejarah politik RRC.

Keluar dari situasi itu merupakan keharusan jika situasi anarki ingin dilampaui dan pembangunan negara dikerjakan. Agar tak lagi sama seperti tahun 1949 yang ditulis Chairil Anwar dalam ”Derai-derai Cemara” lewat puisinya, hidup hanya menunda kekalahan. Sudah 64 tahun kita ”bernegara” dan kedaulatan rakyat masih fantasi, sedangkan mafia menjadi kenyataan. Ini adalah tragedi untuk menyatakan kekalahan berulang.

Dominggus Elcid Li Co-editor Jurnal Academia NTT; Anggota Persaudaraan Indonesia; Mahasiswa PhD Departemen Sosiologi Universitas Birmingham

Pencapaian dan Tantangan Ekonomi India

THEE Kian Wie

Dalam pidato pembukaan National Summit 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, Indonesia harus menerapkan moto ”Indonesia Bisa”. ”Jika China bisa, India bisa, Indonesia juga harus bisa,” kata Presiden.

Meski China dan India sering disejajarkan sebagai dua raksasa ekonomi Asia yang telah tumbuh pesat selama dua-tiga dasawarsa, pencapaian ekonomi India kurang diketahui dibandingkan dengan pencapaian ekonomi China.

Ekonomi India

India mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lamban selama beberapa dasawarsa, rata- rata hanya 3,0 persen setahun, sehingga diejek sebagai ”laju pertumbuhan Hindu”. Baru pada akhir pemerintahan Rajiv Gandhi, akhir 1980-an, terutama setelah 1991 saat Manmohan Singh, menteri keuangan meluncurkan program reformasi ekonomi yang luas, ekonomi India mulai tumbuh lebih pesat.

Program reformasi ekonomi ini meliputi deregulasi sektor keuangan dan liberalisasi kebijakan perdagangan yang proteksionis dan kebijakan investasi asing langsung yang amat restriktif. Dampak kumulatif program reformasi kebijakan ekonomi berhasil mendorong investasi swasta langsung, termasuk swasta asing, sehingga meningkat 7-8 persen dari produk domestik bruto (PDB) India dalam 4-5 tahun.

Sejak liberalisasi ekonomi awal 1990-an, India muncul sebagai negara utama dalam teknologi informasi (TIK) dan komunikasi dan BPO (business process outsourcing), yang berhasil meningkatkan pertumbuhan rata-rata 6,0 persen setahun (dua kali ”laju pertumbuhan Hindu” yang hanya 3,0 persen).

Pertumbuhan ekonomi kian pesat, terutama sejak 2002, membuat India disejajarkan dengan China, dua negara adidaya ekonomi Asia. Dalam beberapa tulisan tentang ekonomi India dan China, orang menggunakan istilah Chindia, yaitu kedua raksasa ekonomi yang tumbuh pesat, setidaknya sampai mereka terkena dampak negatif krisis finansial dunia (GFC). Amat mungkin, India dan China kelak akan muncul sebagai dua ekonomi terbesar di dunia, seperti pada abad ke-15.

Menjadi adidaya ekonomi

Ada tiga hal yang membuat negara menjadi adidaya ekonomi. Pertama, skala ekonomi negara itu harus besar sehingga memengaruhi ekonomi dunia.

Kedua, ekonomi negara itu harus dinamis sehingga memberi sumbangan pertumbuhan ekonomi dunia. Ketiga, ekonomi negara itu harus terbuka pada arus perdagangan luar negeri dan arus modal asing sehingga berdampak besar pada ekonomi negara lain.

Berdasarkan tiga tolok ukur ini, China merupakan negara adidaya ekonomi, tetapi India belum meski ada potensinya.

Pada tahun 1990 hingga 2002, laju pertumbuhan ekonomi India rata-rata 6,0 persen setahun. Namun, tahun 2002-2008, ekonomi India tumbuh hampir 9,0 persen setahun (1 persen lebih rendah dari China yang tumbuh 10 persen setahun, sebelum kedua negara ini terkena dampak negatif GFC). Dengan laju pertumbuhan 6,0 persen setahun, tingkat hidup rata-rata orang India meningkat empat kali lipat dalam 40 tahun. Dengan laju pertumbuhan 9,0 persen setahun, tingkat hidup orang India bisa meningkat 16 kali lipat.

Meski India dan China tumbuh pesat selama dua dasawarsa, PDB China dua kali lebih besar daripada PDB India. Pertambahan dalam perdagangan luar negeri China tiap tahun juga lebih besar dari jumlah total perdagangan luar negeri India. China juga berhasil menarik investasi asing langsung tiap tahun, jauh melebihi total investasi asing langsung yang berhasil diterima India dalam 60 tahun.

Tenaga kerja

China mengalami boom industri manufaktur padat karya yang didirikan investor asing dari negara-negara industri baru (NIB) Asia Timur, khususnya Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan. NIB menciptakan lapangan kerja baru bagi puluhan juta pekerja kurang terampil dari pedalaman China. Sedangkan pertumbuhan ekonomi India kurang berhasil menciptakan lapangan kerja baru. Ini disebabkan pertumbuhan India, terutama dipicu sektor jasa, khususnya TIK dan BPO, yang hanya mempekerjakan 5-10 juta pekerja terampil.

Faktor penting yang merintangi pertumbuhan ekonomi India adalah elite politik India. Berbeda dengan elite politik China yang merangkul ideologi kapitalisme (tetapi tidak demokrasi liberal Barat), elite politik di India umumnya masih terkungkung ideologi sosialisme. Karena itu, di India privatisasi perusahaan negara yang tidak efisien amat ditentang elite politik sehingga memerlukan subsidi besar pemerintah.

Dengan kebijakan perburuhan yang usang warisan pemerintah kolonial Inggris dan kebijakan yang menyediakan bidang-bidang usaha kecil, pertumbuhan sehat usaha kecil dan industri padat karya amat dirintangi.

India juga mempunyai sistem finansial lebih sehat dan efisien daripada China. India juga mewarisi dua hal baik dari Raja Inggris, yaitu kepastian penegakan hukum dan penguasaan bahasa Inggris yang baik. Hal ini merupakan faktor amat penting yang mendorong perkembangan pesat industri jasa-jasa teknologi informasi India.

THEE Kian Wie Staf Ahli Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Stimulus Ekonomi Jadi Fokus APEC

Pertemuan puncak forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik akhir pekan ini di Singapura akan berfokus pada upaya mengatasi krisis keuangan global.

Komunike yang dikeluarkan para menteri keuangan 21 negara anggota forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menekankan pentingnya paket stimulus ekonomi setiap negara anggota tahun depan.

Paket stimulus dianggap penting untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi yang terpukul oleh krisis keuangan global yang berawal dari negara adidaya Amerika Serikat, salah satu anggota APEC.

Krisis keuangan itu telah memberikan efek penularan yang dirasakan di seluruh dunia, termasuk para anggota APEC. Kenyataan ini memperlihatkan betapa perekonomian global saling terkait, ibarat bejana berhubungan. Atas dasar itu, perbaikan ekonomi di salah satu negara akan memberikan efek positif terhadap negara lain.

Dengan asumsi itu pula, paket stimulus ekonomi diharapkan tidak hanya berdampak positif terhadap negara yang menjalankannya, tetapi juga terhadap negara lainnya. Perlu dikemukakan, paket stimulus membutuhkan dana tidak sedikit. Dalam kenyataannya, banyak negara berkembang yang menjadi anggota APEC tidak mempunyai cukup dana untuk melancarkan program stimulus ekonomi.

Jangankan untuk paket stimulus, dana untuk kebutuhan biaya rutin saja sudah mengalami kesulitan. Krisis keuangan global telah memberikan pukulan berat kepada negara-negara berkembang. Upaya melepaskan diri dari perangkap kesulitan semakin berat.

Sementara itu, negara-negara yang menjalankan paket stimulus sering mengalami kegalauan pula. Sejumlah negara, seperti AS dan China, sudah melaksanakan paket stimulus ekonomi, tetapi hasilnya tidak sama. China, misalnya, dapat melaksanakan paket stimulus ekonomi senilai 586 miliar dollar AS relatif secara mulus.

Sebaliknya, AS masih kelimpungan melaksanakan paket stimulus senilai 787 miliar dollar AS. Program stimulus itu belum berjalan lancar meski mampu mencegah krisis bergerak lebih dalam. Pengaruh krisis masih dirasakan AS dan sejumlah negara di dunia. Pertemuan puncak ke-17 APEC pada 14-15 November di Singapura diharapkan akan memberikan jalan keluar bagi krisis keuangan global.

Namun, harapan itu digugat pula karena forum APEC yang didirikan tahun 1989 sampai sekarang belum menghasilkan agenda kerja yang jelas. APEC sering dikritik hanya menjadi forum pertemuan yang sering mengumbar harapan, tetapi tak sampai menghasilkan komitmen untuk melakukan kegiatan konkret dalam bidang ekonomi.

Hanya tak sedikit yang berpandangan, terlepas dari segala kekurangannya, APEC telah menjadi forum pertemuan para pemimpin Asia Pasifik. Juga menjadi sarana konsultasi informal soal kerja sama ekonomi Asia Pasifik.

TAJUK RENCANA

Ironi Krisis Listrik

Sudah 64 tahun Indonesia merdeka, tetapi yang didapat rakyat bukannya negara yang maju, tetapi negara yang mundur.

Hari-hari ini, dari Papua hingga Sumatera Utara, kita mendengar rakyat menjerit karena listrik semakin sering digilir. Sungguh besar akibat krisis listrik ini bagi konsumen, baik perorangan maupun industri.

Disalurkan lewat media massa, cetak maupun elektronik, dan terakhir lewat situs jejaring sosial, keluhan yang disampaikan sangat beragam, mulai dari ikan hias dagangan mati akibat kekurangan oksigen, makanan di kulkas membusuk, penjahit pakaian jadi kehilangan waktu produktif, alat elektronik jadi rusak, hingga industri yang harus membayar biaya daya maksimum.

Sebenarnya, perihal defisit listrik sudah lama kita dengar, tetapi—karena bangsa Indonesia disibukkan oleh banyak isu lain—urusan listrik ini lalu seperti luput dari perhatian. PLN sebagai perusahaan yang selama ini mendapatkan amanah untuk menyelenggarakan layanan vital ini harus memberikan pertanggungjawaban. Tak cukup hanya PLN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan BUMN pun harus kita dengar pertanggungjawabannya, mengapa pengelolaan listrik negara buruk seperti ini?

Menghadapi keluhan masyarakat, PLN menawarkan kompensasi 10 persen dari biaya beban atau biaya tetap listrik bagi pelanggan yang terkena dampak pemadaman. Namun, seperti disampaikan pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo (Kompas, 12/11), hal itu tidak sebanding dengan kerugian riil konsumen.

Kita berpandangan, krisis listrik yang terjadi sekarang ini memperlihatkan bahwa PLN dan pemerintah mengelola kelistrikan negara tanpa visi dan perencanaan memadai. Apa yang dialami masyarakat sekarang ini merupakan bukti nyata kurangnya perhatian pemerintah terhadap infrastruktur ekonomi yang amat menentukan ini. Memang ada kebakaran yang merusakkan sejumlah gardu induk di Jakarta, tetapi itu tidak bisa menutupi krisis yang terjadi di kota-kota lain. Lalu, kalau memang ada rencana darurat, mestinya perbaikan gardu tak harus membutuhkan waktu begini panjang.

Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sekitar 4 persen saja, listrik kedodoran, bagaimana kalau ekonomi tumbuh 7 persen atau lebih seperti diharapkan, ditandai oleh giatnya operasi pabrik dan aktivitas ekonomi masyarakat?

Apa, ya, perasaan PLN atau pemerintah melihat setiap hari di koran atau televisi ada tayangan masyarakat di beberapa kota berdemo memprotes pemadaman?

Kita berharap pemerintah dapat meninjau ulang kebijakan penyelenggaraan layanan listrik negara. Selain itu, masyarakat yang ingin mengembangkan sumber daya listrik mandiri hendaknya dapat diberikan kemudahan.

Listrik yang kini menjadi sumbat botol pembangunan harus ditata ulang bersama dengan konsep pengembangan energi lainnya. Tanpa itu, ia hanya akan menjadi ironi.

TAJUK RENCANA




13/11/09

Langkah Catur Istana

Wawan Mas’udi

Situasi kacau kelembagaan negara akibat perseteruan ”buaya lawan cicak” secara cerdik sedang dimanfaatkan oleh istana.

Hingga kini istana tidak memiliki posisi tegas dan jelas. Bahkan, dari rangkaian peristiwa seminggu terakhir, istana cenderung menjalankan strategi beragam dan kontradiktif. Ibarat main catur, hingga kini langkah-langkah politik istana dalam menyikapi konflik antarlembaga negara itu tidaklah mudah dibaca arahnya dan berpihak ke mana.

Jika dirunut kembali, saat perseteruan KPK–Mabes Polri–Kejagung memanas, istana bersikap dingin, berdalih netral, dan menghormati proses hukum. Sikap istana mulai berubah saat Polri menahan Chandra dan Bibit dan menimbulkan sentimen politik amat negatif dari masyarakat.

Ketika kecaman masyarakat atas penahanan itu meningkat dan dukungan untuk penangguhan penahanan keduanya mengalami kulminasi, istana mengambil langkah taktis, membentuk Tim Delapan. Tim bertugas melacak fakta dan klarifikasi atas proses hukum yang membelit dua komisioner nonaktif KPK.

Pembentukan tim itu disambut positif masyarakat yang sedang marah. Setelah gelar rekaman konspirasi di Mahkamah Konstitusi, Tim mendesak penangguhan penahanan Chandra-Bibit, mendesak mundur pejabat yang terlibat skandal rekaman, dan memanggil pihak-pihak yang terkait perseteruan. Dengan Tim Delapan, istana sedang membela KPK.

Sikap berbeda

Namun, sehari kemudian, sikap istana berbeda. Dalam sidang lanjutan Mahkamah Konstitusi (MK), Menteri Hukum dan HAM—wakil istana—dengan bahasa halus dan berputar-putar berupaya menggugat MK dengan menanyakan, ”apa relevansi pemutaran rekaman plot kriminalisasi KPK oleh Anggodo dengan substansi persidangan yang sedang berlangsung?”

Ketua MK menjawab gugatan itu sehingga pemutaran rekaman gagal dimasalahkan. Dengan menggunakan Menteri Hukum dan HAM, istana mencoba mendelegitimasi langkah MK membuka rekaman yang menyingkap tabir perseteruan ”Buaya lawan Cicak”, tetapi gagal.

Sikap aneh juga ditunjukkan istana terkait pencatutan nama RI-1 dalam rekaman Anggodo. Dengan menggunakan alasan hukum bahwa itu bukan delik aduan, istana menegaskan tidak akan menggugat pencatutan itu.

Ini di luar kebiasaan dalam beberapa kesempatan terakhir ketika Presiden amat sensitif dengan hal-hal yang menyangkut ancaman terhadap diri dan keluarganya. Kita masih ingat kasus pencemaran nama baik anggota keluarga di Ponorogo terkait politik uang dalam kampanye pemilu, SMS bernada ancaman terhadap Ibu Ani Yudhoyono, bahkan publikasi ancaman keselamatan Presiden oleh teroris.

Dalam tiga kasus itu, kubu istana begitu reaktif karena dinilai mengancam keselamatan dan nama baik keluarga Presiden. Bukankah secara substantif pencatutan RI-1 oleh Anggodo juga bermakna ancaman terhadap (nama baik dan kredibilitas) Presiden? Mengapa kali ini istana seolah memaafkan?

Sikap mendua istana juga ditunjukkan kubu pendukung SBY di DPR. Rapat dengar pendapat Komisi III-pemimpin kepolisian justru jadi forum bagi kepolisian untuk mendapat darah segar melawan balik semua kekuatan yang memojokkan. Alih-alih memenuhi harapan rakyat agar Komisi III DPR mampu memperjelas kasus kriminalisasi KPK, yang terjadi justru tepuk tangan anggota Komisi III atas berbagai pernyataan dan keluhan yang dipaparkan Polri. Jadilah forum rapat itu mengoyak rasa keadilan masyarakat. Istana sedang memainkan tangannya di DPR: memberi napas segar kepada Polri karena mayoritas mereka barisan istana, bahkan dipimpin politikus Partai Demokrat.

Politik ganda

Fakta-fakta politik itu menegaskan, istana tidak memiliki sikap kokoh terkait penyelesaian konflik kelembagaan yang sudah mencapai tahap akut. Istana memainkan langkah politik ganda dan menikmati lembaga-lembaga dalam kekuasaannya sedang saling berbantah dan serang. Sebagai misal, perseteruan antara Tim Delapan dengan kepolisian, kejaksaan, dan Komisi III DPR seolah dibiarkan memanas. Bagi publik, situasi ini sungguh aneh.

Langkah-langkah catur istana itu mengesankan bahwa SBY sengaja menghindari keterlibatan langsung dalam situasi konflik yang terjadi. Dengan posisi yang seolah membela semua pihak yang terlibat konflik, SBY ingin menunjukkan dirinya adalah pengayom, baik bagi KPK, DPR, Polri, maupun kejaksaan.

Bahkan, dalam penyelesaian konflik kelembagaan itu pun SBY menghindari menggunakan langsung tangannya, tetapi lebih memilih membentuk Tim Delapan. Selain menjalankan tugas mencari fakta dan klarifikasi proses hukum kriminalisasi KPK, Tim Delapan sekaligus menjadi bemper istana dalam berhadapan dengan masyarakat dan semua lembaga yang sedang berseteru.

Dengan cara ini, Presiden SBY tak akan tersentuh dan bersentuhan langsung dengan arena perseteruan. Jika istana sengaja menciptakan langkah catur itu, drama ”Buaya lawan Cicak” justru sedang memasuki fase baru yang lebih anarkistis. Situasi ini harus diwaspadai karena akan membuka peluang bagi lahirnya pola pengelolaan kekuasaan yang antidemokrasi.

Wawan Mas’udi Dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM


Basmi Mafia Hukum

HENDARDI

Langkah yang tepat jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan pemberantasan mafia hukum dalam prioritas pertama dari 15 program pilihan 100 hari pemerintahannya.

Prioritas itu disampaikan Presiden Yudhoyono tanggal 5 November lalu menyusul ledakan kontroversi kasus Bibit dan Chandra—dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—yang disangka melakukan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh Markas Besar (Mabes) Polri.

Operasi mafia

Banyak elemen masyarakat sudah muak dengan maraknya korupsi, suap, dan pemerasan yang melumuri penegak hukum dan pengadilan. Belakangan merebak konflik antara KPK yang dibentuk tahun 2002 dengan Mabes Polri dan Kejaksaan Agung sehingga Presiden mengakui keberadaan jaringan mafia dalam penegakan hukum.

Presiden menyebut mafia yang memetik keuntungan ilegal itu terdiri atas makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual-beli perkara, mengancam saksi, mengancam pihak-pihak lain, dan pungutan liar (pungli), yang merusak rasa keadilan dan mengakibatkan kerugian material bagi mereka yang menjadi korban.

Sebelumnya kita mengenal ”mafia peradilan” yang telah membusukkan lembaga-lembaga penegak hukum dan sistem peradilan pidana di Indonesia. Polisi, jaksa, dan hakim yang kotor adalah tiga ujung tombak yang menodai citra dan moralitas institusinya.

Meski demikian, masih banyak polisi, jaksa, dan hakim yang bersih, mematuhi hukum dan kode etik profesi. Namun, persoalan yang pokok adalah bahwa jaringan ”mafia peradilan” telah berakar kuat—puluhan tahun tertanam—yang beroperasi dalam sistem peradilan pidana, terutama melibatkan pimpinan institusi penegak hukum dan pengadilan.

Beberapa tahun lalu ada lelucon, katanya, ”banyak kasus korupsi tanpa koruptor”. Hal itu muncul dalam silang pendapat antara seorang anggota DPR dan mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh terkait ungkapan ”ustaz di kampung maling”. Atau ungkapan populer ”kasih uang habis perkara” (KUHP).

Maraknya korupsi, bahkan dugaan ”desentralisasi korupsi” yang menyebar jauh, juga menyulitkan proses perbaikan lembaga penegak hukum dan pengadilan. Karena itu, kesempatan memupuk kekayaan pribadi berkembang bersamaan dengan kesempatan penguatan ”mafia peradilan”, termasuk beroperasinya makelar kasus, pemerasan, jual-beli perkara, dan pungli. Beroperasinya jaringan ”mafia peradilan” itu diakui bersifat sistemik—setiap oknum tahu sama tahu—sehingga menyumbat keadilan. Presiden juga mengungkapkan, mafia hukum bisa terjadi di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, KPK, departemen, instansi pajak, bea cukai, dan di daerah.

Pembasmian

Prioritas program pemerintah yang berniat membasmi mafia hukum patut disambut meski belum ada langkah-langkah nyata. Dari upaya itu, telah disiapkan baru PO Box 9948 Jakarta 10000 dengan kode GM yang dapat digunakan oleh mereka yang menjadi korban ”mafia peradilan”.

Momentum itu tak lepas dari kontroversi kasus Bibit-Chandra, termasuk dukungan yang kian besar dari berbagai daerah terhadap KPK. Boleh jadi, hal ini juga menjadi pelajaran berharga bagi Mabes Polri dan Kejagung.

Meski demikian, basmi atau ganyang mafia hukum membutuhkan langkah nyata dan berani dari pemerintah.

Pertama, dibutuhkan revisi UU Antikorupsi dengan memasukkan prinsip pembuktian terbalik agar mempermudah pemeriksaan kekayaan pribadi seorang pejabat dan petugas penegak hukum dan pengadilan.

Kedua, lembaga kepolisian, kejaksaan, dan KPK harus dibersihkan dari jaringan mafia hukum. Memang tak terelakkan kesan, KPK dibentuk dengan mengambil lahan kepolisian dan kejaksaan sehingga hubungan ketiga lembaga ini kurang harmonis. Sudah seharusnya mereka bekerja sama lebih efektif untuk memberantas korupsi.

Ketiga, mereka yang diduga terlibat praktik mafia hukum harus ditindak tanpa pandang bulu. Ini penting agar tak berkembang menjadi pertikaian antarlembaga. Untuk itu, pertama-tama yang bersangkutan harus didudukkan sebagai oknum yang menodai citra lembaga.

Keempat, mutlak dibutuhkan pengawasan atas operasi lembaga penegak hukum dan pengadilan. Sekarang sudah ada Komisi Yudisial (KY) yang mengawasi perilaku hakim; juga ada Komisi Kepolisian Nasional untuk menyoroti perilaku polisi; serta Komisi Kejaksaan untuk mengawasi kejaksaan. Karena itu, juga perlu dibentuk badan yang mengawasi perilaku KPK.

Di antara lembaga-lembaga itu, yang lebih aktif hanya KY. Berdasar riset KY yang dilakukan tahun 2006, hampir 90 persen hakim dinyatakan bermasalah terkait korupsi. Dan hingga kini Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Kejaksaan belum ada laporan riset terkait perilaku kedua lembaga penegak hukum itu.

Kelima, tak boleh diabaikan pentingnya partisipasi organisasi dan elemen di masyarakat dalam membasmi mafia hukum. Hal ini terlihat selama beberapa pekan ini, dengan meningkatnya dukungan kepada KPK dari facebookers yang diperkirakan sudah lebih dari satu juta.

HENDARDI Ketua Badan Pengurus Setara Institute

Reformasi Kesehatan

Hari Kusnanto

Kata ”reformasi kesehatan” muncul dari Menteri Kesehatan yang baru dengan berbagai program dan energi yang membayang di belakangnya.

Semua negara di dunia mengamini ”reformasi kesehatan” meski memaknainya secara berbeda-beda. Hiruk pikuk reformasi kesehatan di Amerika Serikat pada bulan-bulan pertama pemerintahan Barack Obama menegaskan, reformasi kesehatan adalah belantara yang belum terpetakan.

Memaknai reformasi kesehatan

Rancangan reformasi kesehatan apa pun akan terpental jika masyarakat abai terhadap tanggung jawab pribadi atas kesehatan masing-masing. Berdasarkan data pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), pola penyakit yang menghabiskan dana pemerintah untuk pengobatan adalah kanker, stroke, dan jantung koroner, terkait kebiasaan merokok aktif atau pasif. Anak-anak dengan gizi buruk tinggal di rumah yang dipenuhi kepulan asap rokok.

Reformasi kesehatan di perkotaan tidak bisa membiarkan masyarakat bertoleransi atas kehadiran nyamuk Aedes aegypti (penyebab penyakit demam berdarah), tanpa mencari tahu di mana tempat perindukannya dan berusaha memusnahkannya. Reformasi kesehatan yang menempatkan puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat tidak membiarkannya hanya sebagai tempat pengobatan PUSing, KESeleo, dan MASuk angin. Puskesmas di daerah endemik malaria harus mampu mendiagnosis malaria dan mengobati secara tepat. Perlu lebih banyak puskesmas yang mampu mendiagnosis tuberkulosis dan tuntas mengobatinya hingga sembuh. Banyak penderita penyakit kronik, seperti tekanan darah tinggi dan diabetes, dapat dilayani dengan baik di puskesmas.

Kompetensi petugas puskesmas harus bisa diandalkan, tentu disertai sistem kompensasi layak berbasis kinerja yang berhasil dicapai.

Kegiatan luar gedung

Dalam debat calon wakil presiden, Boediono menggambarkan reformasi kesehatan sebagai peningkatan kegiatan luar gedung. Ini mirip para dokter Kuba yang bekerja di Timor Leste saat ini. Mereka memiliki determinasi kuat untuk mengunjungi rumah penduduk, khususnya di daerah terpencil, sehingga dapat menularkan pengetahuan dan perilaku sehat kepada masyarakat. Bukan kebetulan, angka kematian bayi yang menggambarkan tingkat kesehatan masyarakat di Kuba (6 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup) mengungguli AS (7 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup).

Kegagalan reformasi kesehatan di banyak negara berkembang sering diakibatkan keterbatasan analisis kebijakan, campur tangan kelewat jauh lembaga internasional yang memaksakan template reformasi yang tidak pas, implementasi yang top-down sehingga tidak mengundang partisipasi dan rasa memiliki pemerintah lokal, dan cenderung tanpa kritis meniru model reformasi negara lain.

Reformasi kesehatan sejak akhir 1980- an hingga 1990-an didominasi ide desentralisasi, otonomi rumah sakit, kontribusi masyarakat dalam menanggung biaya pelayanan kesehatan, ditambah pertumbuhan sektor swasta dan asuransi kesehatan. Tahun 2000-an masalah reformasi kesehatan kian beragam, kebanyakan bertujuan untuk menjamin keadilan dan pemerataan layanan kesehatan dan jaminan universal layanan kesehatan, dengan perhatian khusus keluarga miskin.

Realokasi sumber daya

Setiap reformasi kesehatan meredefinisi peran pemerintah, penyedia pelayanan kesehatan, pasien, penjamin biaya, dan organisasi lain terkait pelayanan kesehatan. Perubahan dalam sistem jaminan pelayanan yang membebankan biaya kepada pasien setiap kali sakit dapat menimbulkan gejolak setelah mereka menikmati layanan gratis Jamkesmas, meski sebagian di antara mereka tidak tergolong miskin. Sementara itu, banyak orang yang amat miskin tidak mampu mengakses Jamkesmas. Beberapa pemerintah lokal yang mencanangkan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh masyarakat merasakan guncangan anggaran daerah karena pengeluaran yang tinggi sehingga mengancam kelangsungan program kesehatan dan sektor pembangunan lainnya.

Lima tahun lalu, setelah UU No 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diberlakukan, akan selalu mewarnai upaya reformasi kesehatan pada masa datang, termasuk bagaimana sejumlah peraturan pemerintah pusat dan daerah harus dikembangkan untuk mendukung implementasi UU itu. Dasar-dasar jaminan universal bagi layanan kesehatan untuk seluruh anak bangsa diletakkan dalam UU No 40/2004. Kita menunggu bagaimana jalur menuju jaminan kesehatan universal dapat dipetakan pemerintah sebagai sarana dialog berkelanjutan sehingga tiap rupiah yang dibelanjakan berkontribusi terhadap peningkatan kesehatan masyarakat.

Alokasi anggaran dan sistem target untuk meminimalkan kesenjangan kesehatan antara individu maupun keluarga di daerah satu dan yang lain merupakan tantangan yang kompleks. Di Kabupaten Bantul, tiap desa yang selama setahun bebas dari kematian ibu, kematian bayi, demam berdarah, dan gizi buruk akan mendapat dana Rp 200 juta. Ini hanya contoh kecil, dibutuhkan kreativitas dalam mengembangkan sistem alokasi anggaran dan upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Reformasi kesehatan adalah perjalanan menuju kesejahteraan masyarakat, bukan tujuan, sebagaimana negara lain yang masih terus mempertajam sistem yang selama ini mereka terapkan.

Hari Kusnanto, Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM

Rakyat Dibela

HANDRAWAN NADESUL

Rakyat kita ada dua. Pertama, yang bisa mengurus diri, termasuk kesehatannya. Kedua, rakyat yang baru berobat kalau punya duit.

Jumlah kelompok kedua lebih dari empat perlima penduduk, perlu dibela karena rentan jatuh sakit.

Bukan obat, tetapi...

Konsep pembangunan kesehatan kita belum berubah. Paradigmanya preventif-promotif. Jika pasien puskesmas terus bertambah, artinya preventif-promotif belum jitu. Hal itu karena kerja puskesmas baru dinilai berhasil jika dokter berkunjung dari pintu ke pintu, rutin ikut rapat mingguan dengan pamong, bekerja sama lintas sektoral, aktif menyuluh, dan cakupan imunisasi terus menjaring lebih luas.

Puskesmas juga terbilang berhasil bila yang datang untuk menimbang bayi bertambah, kunjungan poliklinik menurun, air bersih tersedia, selokan dan jamban keluarga dibudidayakan. Dari sinilah sebaiknya niat revitalisasi puskesmas berawal.

Tercapainya target MDGs banyak bergantung sehatnya sikap puskesmas terhadap ibu dan anak. Target MDGs bisa tercapai bila kematian bayi dan ibu hamil bisa ditekan. Untuk itu, rakyat perlu mendapat air bersih, kebersihan perorangan dan sanitasi meningkat, selebihnya mendongkrak pendidikan ibu.

Tidak semua ibu siap menjadi ibu. Derajat kesehatan keluarga ditentukan pendidikan ibu. Pendidikan ibu menentukan keberhasilan perbaikan angka kematian bayi, ibu hamil, dan melahirkan. Intervensi pemberdayaan ibu sejatinya menjadi prioritas. Safe motherhood, salah satunya.

Bagi empat perlima rakyat, menyuluh kesehatan laik dijadikan bagian pelaksanaan konsep primary health care (PHC). Apa pun bentuk layanan PHC, asasnya dari, oleh, dan untuk rakyat. Kita pernah mengerjakannya dalam bentuk pembangunan kesehatan masyarakat desa, selain posyandu, dana sehat, dan sejenisnya, yang kini terlupakan.

Orientasi kesehatan

Sektor kesehatan tidak mungkin melangkah sendiri. Dalam pelaksanaan PHC, perlu terjalin kerja sama lintas sektoral yang dulu pernah dikerjakan. Selain itu, apa pun sektornya perlu sepakat, pembangunan sektor apa pun wajib berorientasi kesehatan. Kesepakatan itu bisa meringankan sektor kesehatan.

Membangun jalan raya, jembatan, infrastruktur, pariwisata, transmigrasi, transportasi, dan lainnya wajib memperhitungkan aspek kesehatan sejak perencanaan. Sektor kesehatan butuh bantuan sektor pekerjaan umum untuk membangun penyediaan air bersih, butuh sektor pertanian dan kelautan guna meningkatkan gizi keluarga, butuh sektor dalam negeri guna menggiatkan partisipasi masyarakat, sektor komunikasi untuk menyuluh rakyat agar pintar sehat.

Di lapangan, sumber mata air kita berlimpah, tetapi masyarakat sekitar kekurangan air bersih. Hanya bila puskesmas mau berpikir bagaimana membangun instalasi (teknologi tepat guna dengan pekerjaan umum) sehingga sumber air bisa dimanfaatkan rakyat.

Hal lain, tak semua kasus kekurangan gizi karena kepapaan. Banyak pula karena ketidakberdayaan dan ketidaktahuan. Maka perlu dijalin lintas sektoral dengan pertanian, mengajak rakyat bercocok tanam hidroponik di pekarangan sempit, budidaya belut di gentong, meningkatkan gizi keluarga secara sederhana.

Promotor kesehatan

Selain itu, sektor kelautan, mengolah ”bubuk ikan” bagi rakyat pegunungan yang kurang protein hewani. Rakyat pesisir yang kecukupan ikan butuh bimbingan bercocok tanam hidroponik untuk memenuhi kecukupan sayur dan bebuahan.

Agar bisa bergerak, rakyat perlu dibimbing. Maka diperlukan penggerak. Dulu dikenal ”promokesa” atau promotor kesehatan desa. Kader kesehatan dari masyarakat ini menjadi penyambung tangan puskesmas dengan rakyat. Promokesa lebih akrab dengan masyarakat sekaligus mudah memotivasi segala bentuk kegiatan yang menyehatkan rakyat, termasuk agar rakyat mampu membatalkan jatuh sakitnya.

Karena itu, tak tepat jika pembangunan kesehatan lebih mengalokasikan belanja obat ketimbang memberdayakan rakyat agar mampu membatalkan jatuh sakit. Saatnya fokus pembangunan kesehatan tidak menunggu rakyat telanjur sakit, tetapi menjadikan mereka sehat sejak awal.

Sudah lama mayoritas rakyat kita terlunta karena sering sakit yang sebetulnya tidak perlu. Belum tentu mereka mampu berobat saban kali sakit. Membantunya terus memberi obat murah dan rumah sakit gratis yang memerlukan anggaran besar dan kita belum memungkinkan untuk memilih itu.

Kini harus dilakukan, membangun rakyat agar tidak sakit sejak hulu. Ongkos untuk itu lebih murah karena kegiatan menyuluh, menjalin kerja sama lintas sektoral, membangun kader kesehatan, dan kesepakatan semua sektor membangun berorientasi kesehatan tidak lebih boros dari belanja obat dan rumah sakit gratis.

HANDRAWAN NADESUL, Dokter; Pengasuh Rubrik Kesehatan; Kolomnis; Penulis Buku